Nikah,
Gak Boleh Ngutang
Malam ini terasa panas sekali, kami menempati ruang keluarga yang hanya berukuran
3x3 ini seolah semakin panas. Ya, panas bukan cuacanya yang salah namun agaknya
suhu tubuhku yang kian memanas. Seperti
orang demam . Namun dengan keyakinan yang kuat aku yakin semua akan baik-baik
saja. Istilah kata. Everything gonna be
oke.Jam bergerak menuju angka delapan malam. Kakak tertuaku mulai mengambil
posisi untuk berbicara. Semua wajah
terlihat tegang, terutama aku.
“Jadi sekarang berapa jumlah tabunganmu untuk nikah” aku tergugu ditanya
seperti itu.
Baru aku mau angkat bicara kakak laki-laki pas di atas
aku yang spontan bicara. “ Kalau pun si Milda punya banyak tabungan, untuk
acara pernikahan ini tak perlu lah mengurasnya. Yang perlu dipikir itu adalah
kehidupan setelah mereka menikah nanti !”
Kami semua mengangguk. Memang aku saat itu sudah
mandiri dan punya bisnis toko buku, jadi pasti anggapan semua kakakku aku sudah banyak tabungannya, hehehe.
“Pergunakan saja seperlunya untuk persiapan dia menikah, selebihnya
disimpan” lanjut kakakku.
Kakak tertua mengusap wajahnya dengan telapak
tangannya, sepertinya ada beban yang ingin dia bagi dengan kami. “ Cobalah
bulan Juni atau Juli saja menikahnya, pas liburan. Kami pun masih sempat untuk
menabung. Ini terasa mendadak sekali. Kami tidak ada persiapan.”
Kali ini kakak ke tiga ikut bicara, “ Kalau soal itu
benar kata Hadi, tak perlu kita muluk-muluk. Kalau dana tak ada yang sederhana
saja kita angkat pestanya, tapi kalaupun dana berlimpah, kita juga tak perlu
berfoya-foya”
“ Maaf kakak-kakak semua, apa dengan menunda waktu, bisa menjamin kita
semua akan mendapatkan dana yang banyak untuk acara pernikahan ini. Insya Allah
semua akan berjalan lancar dan ada saja rejeki untuk kita nantinya. Kalian tak
perlu memaksakan diri, apalagi sampai berhutang. Itu akan menjadi beban kami
nantinya” jelasku meyakinkan mereka semua. Akhirnya sidang malam itu dengan
diskusi yang senggit dan adu pendapat memutuskan, acara pernikahan akan
dilangsungkan pada tanggal 1-2 April. Terhitung ada sekitar dua bulan lagi. Januari
kami bertemu, cuma tiga bulan waktu kami saling mengenal sekaligus menikah,
singkat ya.
“Ya, sudah beritahulah kepada calon suamimu itu untuk
datang kemari bersama dengan keluarganya. Kita akan berdiskusi mengenai hal
ini!”
Pertemuan dua keluargapun berlangsung. Tak banyak yang dibicarakan diantara kedua
keluarga. Hanya persiapan untuk mahar dan uang bantuan untuk masak memasak. Ya,
begitulah salah satu tradisi di daerahku, di Bengkulu. Selain Mahar atau mas
kawin. Calon suami juga diminta untuk membantu biaya dapur, istilah para pemuka
adat adalah uang hantaran. Besarnya
tergantung dengan kesepakatan kedua keluarga. “Jangan pernah meminta atau
menentukan jumlah uang hantaran, soalnya kita bukan jual anak. Mereka ini kan
mau menikah, mau beribadah, jadi jangan dibeban beratkan.” Nasehat Emak, suatu
sore ketika kami berkumpul.
Selanjutnya yang perlu dipersiapkan soal urusan KUA,
konfirmasi dengan ketua adat setempat. Jika tidak mereka nanti tidak mau
membantu pada saat urusan akad nikah. Mengundang dan berdiskusi dengan tetangga
terdekat agar mereka bisa bahu membahu membantu. Jangan sampai kita abaikan
mereka karena merasa bisa mengatasi
semuanya.
Dua bulan
persiapan lumayan bergegas. Dari menyiapkan semua hal yang bisa
kulakukan sendiri. Seperti souvenir, undangan, buku tamu, mencari gedung, sewa
pelaminan, hiburan nasyid , menyiapkan kepanitiaan dan lain sebagainya. Hari
yang sibuk dan melelahkan. Aku sudah berniat dan bertekad untuk pernikahanku
tidak ada hutang piutang. Satu hal lagi yang aku minta kepada keluarga besar,
bahwa aku tidak mau terlibat dengan acara ritual apa pun dalam pernikahan ini.
Entah apa saja, soalnya mitos dan ritual menikah di daerahku lumayan banyak.
Mulai dari memakai jasa pawang hujan sampai acara mandi bersama, ih serem ujung-ujungnya syirik!
Untuk urusan makan pada acara akad nikah di hari sabtu
dan resepsi di esok harinya, semua sudah ditanggani oleh kakak tertuaku. Menu
kami masak sendiri Hal ini merupakan salah satu permintaan Emak, agar di rumah
ada kegiatan masak memasak sekalian untuk saling kumpul dan silaturahim
antar jiran tetangga dan keluarga.
Kalian mau tahu apa yang menjadi salah satu alasanku
untuk segera menikah ya. Jadi begini ceritanya. Setiap pagi hari aku berangkat
kerja. Meski sudah berbisnis tapi aku belum bisa berlepas dari kerja kantoran. Lalu
sekitar jam dua aku mengecek dan memeriksa bisnis. Hasilnya lumayanlah, aku juga memasok buku-buku ke
beberapa toko buku yang ada di sini. Nah, setelah hampir 24 bulan menjalankan
bisnis ini aku sangat keteteran. Oleh karena aku membutuhkan seorang pendamping
yang tangguh. Meski badanku tinggi besar
untuk ukuran perempuan rata-rata
Indonesia. Aku tidak bisa mengendarai motor, padahal aku sudah membelinya. Malu
ya! Yang sering kali menggunakannya adalah saudaraku atau karyawanku. Mereka
sering menjadi tukang ojek untuk mengantarkanku kemana-mana. Sangat merepotkan dan tidak efektif sekali. Ya, mengecek ,
mengantar barang, menemui mitra usaha
dan pelanggan. Menagih uang dan banyak hal. Waktu seolah lelet sekali jika semua
kegiatan itu mempergunakan angkot, hikss.
Belum lagi siang atau sore hari aku juga sering
terlibat berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Ini kulakukan untuk memperluas
jejaring.. Sebagai sarana untuk belajar dengan banyak orang. Terkadang
tempatnya jauh dan pulang setelah salat Isya. Oleh karena itu aku sangat
membutuhkan seorang suami yang bisa menemaniku dan menghindari fitnah. Suami
yang bisa membantu dan mendukung aktivitasku.
Dengan salah satu alasan inilah
mengapa aku menginginkan seorang pendamping dan ingin segera menikah. Namun
dalam mencari jodoh, aku tak pernah mau percaya atau mempergunakan jasa mak
comblang yang masih lajang. Aku mau jika yang menjadi perantara atau orang yang
kan memperkenalkan aku dengan seseorang itu adalah orang yang sudah menikah.
Lebih baik begitu, agar terhindar dari banyak masalah. Orang yang lajang belum
mumpuni pengalamannya dalam berdiskusi dan menjalani asam garam pernikahan.
Nanti jika terbentur masalah tak bisa diskusi yang pas, malah bikin bingung. Saat hendak menikah usiaku genap 26 tahun.
Memang sejak ikut itikaf di tahun 2004 aku selalu berniat dan berdoa untuk bisa
menikah pada usia 26 dan pada tahun 2006.
Ya, tahun 2006 itu aku tidak
menentukan menikah di bulan apa, maunya sebelum Ramadhan datang aku sudah
menikah, jika belum juga terkabulkan . Niat
aku waktu itu akan pergi umroh dahulu. Cukup lama ya aku berdo’a dan
fokus untuk memikirkan soalan menikah ini, dua tahun kawan.
Mau tahu darimana aku mendapatkan suamiku sekarang,
lucu juga kalau ingat saat itu. Namun itulah hidup misteri ada dimana-mana.
Apalagi aku emang gak punya pacar
atau apalah istilah anak alay
sekarang, hohoho. Meski tampangku
pas-pasan, aku yakin akan mendapatkan suami yang cakep dan sholeh yang akan membantu aku memperbaiki keturunan, hahaha. Tapi ini benaran bukan cuma
orangnya yang sholeh namanya juga Solihin, mantab kan!
Saat itikaf di tahun kedua, 2005 di masjid Al Hikmah,
jalan Bangka , Mampang, Jakarta. Dengan para jamaah aku sangat akrab. Terutama
kepada yang tua, mereka tak keberatan dipanggil sebagai
ibu, hehehe. Kami saling berbagi cerita dan saling
memotivasi. Acara itikaf yang full dengan
kajian membuat kami tak terasa lelah. Ada saja canda tawa dan senyum saling menguatkan
diantara kami. Iya, di sini selama bulan Ramadhan kita akan khatam Quran setidaknya dua kali. Saat salat Tawarih
dan salat Lail.
Nah, dari obrolan siang itulah akhirnya ketiga ibu
tersebut entah secara kebetulan semua ingin memperkenalkan aku kepada jagoan
mereka masing-masing. Ibu yang pertama memperkenalkan aku dengan seorang guru
di Jakarta. Lalu ibu yang kedua juga menawarkan aku seorang dokter yang berasal
dari Jawa Timur. Kedua calon tersebut
semua mengharuskan aku untuk ikut dan tinggal di daerah mereka. Semua tawaran
itu aku tolak karena tidak sesuai dengan keinginanku.
Alhamdulillah kami belum sempat
dipertemukan . Memang dari awal sudah aku tegaskan jika calon suami yang aku
inginkan adalah yang mau tinggal dan ikut aku ke Bengkulu. Pertanyaan pertama
jika dikenalkan kepada calon suami, mau gak
dia tinggal bermukim di Bengkulu. Jika jawabannya tidak , segera aku stop.
Daripada membuang waktu dan kesempatan.
Tinggal jagoan satu ibu lagi, hihihi. Sebelum kami berpisah di malam takbiran. Aku sempat
memberikan pas foto ukuran 3x4 berwarna. Lucu ya, bukannya foto close-up, cuma pas foto biasa. Dia menjelaskan kepadaku. Nanti akan segera dihubungi setelah
lebaran ini, karena sang jagoan sekarang sedang mudik.Waktu berlalu setelah
pertemuan itu, tiba-tiba Nokia berdering kencang. Pas diangka sepuluh . Terdengar suara dari
seberang ”Sedang apa sekarang Neng?”
“Sedang salat Dhuha Bu!” Jawabku. “Minta apa sama Allah?” tanya dia
“Minta jodoh!”
“Ne, jodohnya ada di sebelah Ibu, mau gak dikenalin” Aku terpana. Serius
amat ya. Untung lewat telpon, jadi wajah merah jambuku tak terlihat. Berawal
dari sanalah perkenalan dan persiapan pernikahanku.
Acara pernikahan kami berlangsung penuh dengan nuansa
berwarna hijau. Semua hal yang berkaitan
dengan acara pernikahanku menggunakan serba-serbi warna hijau. Aku sangat
bersyukur, tamu yang datang memberikan kami do’a sangat banyak. Pada pernikahan
ini aku mendapatkan hadiah gratis sewa gedung pernikahan.
Lalu pada acara
hiburannya ada sekitar lima grup nasyid yang hadir. Mereka menghibur penonton
dengan berbagai lagu islami. Beberapa nasyid yang hadir. Itu karena dua
diantaranya adalah grup nasyid bimbinganku dan aku tergabung dalam kepengurusan
nasyid, hihihi. Ada banyak tamu yang
berbisik ketika bersalaman, “ Mbak, ini konser nasyid atau acara nikahan”
seloroh mereka sambil berlalu.
Alhamdulillah acara pernikahan kami yang berlangsung
dua hari itu berjalan lancar dan sukses. Ya, setidaknya tak ada tagihan utang
di sana- sini. Amplop yang didapat pun sangat membantu . Malah masih sempat
kami bagi dengan orang tua dan keluarga, hehehe.
Aku sangat bersyukur niat dan tekadku dimudahkan oleh Allah SWT.
Lalu,
pertanyaannya sekarang bagaimana sosok suamiku yang mendadak menjadi
pengangguran. Waktu itu gaji dan posisi beliau sangatlah apik di Jakarta. Namun
demi menikah denganku dia rela meninggalkan itu . Hari-hari yang baru dia lalui
dengan membantu mengurus toko buku kami. Sempat menjadi sales buku. Menjadi
tukang koran , keliling mengantar barang pesanan pelanggan entah di rumah atau
di kantor.
Lumayan itu untuk membantu dia menaklukkan jalan dan gang yang ada
di kota Bengkulu. Menambah teman dan pergaulan karena di sini dia tak punya
sanak keluarga. Awalnya suami agak terlihat memaksakan diri untuk betah. Banyak
perbedaan antara tinggal di kota besar Palembang dan Jakarta. Apalagi suamiku
termasuk orang suka travelling.
Makanya ketika aku tawarin untuk menjadi tukang koran keliling dia sangat suka,
hehehe.
Dan seiring waktu berlalu, hanya sekitar dua tahun
saja suami menjalakan profesi itu. Ketika ada lowongan CPNS di salah satu
perguruan tinggi di Bengkulu. Suamiku lolos dan diterima menjadi pegawai negeri
di sana. Hanya dengan modal dua belas ribu rupiah, ya dua buah materai.
Tidak
seperti kebanyakkan orang sekarang untuk menjadi pegawai negeri sanggup
membayar puluhan juta. Aku sangat bersyukur dengan kondisi pernikaahn kami yang
sekarang alhamdulillah sudah dibisa dibilang mapan dan mempunyai anak yang
sehat dan cerdas.
Kalau dulu aku ngotot
minta kriteria calon suami pegawai negeri, mungkin ceritanya tidak akan begini
ya. Banyak temanku sekarang yang menunda menikah dengan alasan karena calon
suami tidak sekufu, baik dari pendidikan, suku dan penghasilan. Weleh-weleh.
Mungkin tidak banyak yang siap seperti aku untuk menikah dengan pengangguran.
(Dalam menjalani kelahiran anak kedua 2013)
SEPUTAR BUKU MWS
Itulah sekelumit cerita saya yang terdapat di buku My Wedding Sory. Buku ini sangat bagus dibaca oleh orang-orang yang ingin atau mempersiapkan pernikahannya, agar mendapatkan inspirasi dan masukan dari berbagai pengalaman pernikahan sebelumnya.
Itulah sekelumit cerita saya yang terdapat di buku My Wedding Sory. Buku ini sangat bagus dibaca oleh orang-orang yang ingin atau mempersiapkan pernikahannya, agar mendapatkan inspirasi dan masukan dari berbagai pengalaman pernikahan sebelumnya.
Gaya penceritaan di dalam buku ini sangat menarik dan mudah untuk dipahami. Semua nasihatnya dibuat mengalir saja dalam cerita yang unik sehingga tidak ada kesan untuk menggurui. Sebab semua itu adalah kisah nyata dari para penulisnya.
Habis baca buku ini garansi deh, kamu pasti MINTA NIKAH dan semakin mantap niat serta doanya.
Oleh karena itu segera beli buku ini, baca dan segera menikah ya. Jangan ditunda-tunda lagi ya beli bukunya ya baca bukunya. Aamiin.
Bukunya bisa dibeli di seluruh toko Gramedia dan toko buku favoritmu.
Kalo udah nikah, jangan lupa kirim undangannya ya , hehehe
0 comment
Terima kasih sudah mampir dan komen di blog saya. Mohon tidak komentar SARA, Link Hidup. Semoga makin kece, sehat dan banyak rejeki ya. Aamiin