Pujangga
Kedurang
Milda
Ini
Tepat
jam sembilan pagi aku sampai di terminal Pasar Atas kota Manna, yang merupakan
ibu kota kabupaten Bengkulu Selatan. Udara pagi menyapaku. Aku bersiap-siap
melanjutkan perjalanan ke arah timur kota ini dengan menggunakan angkutan desa
menuju Kedurang. Pulang ke kampung halaman di dusun Nanti Agung. Kuperkirakan
akan memakan waktu sekitar satu jam lagi, baru bisa rehat di rumah.
Kali
ini kepulanganku tak tak lama, hanya
ingin mencari udara segar sejenak
di sela-sela sibuk mengejar skripsi. Ya, mumet
aku dibuatnya. Mobil mulai melaju, memasuki
daerah Kedurang. Dari awal perjalanan tersaji pemandangan yang sangat
indah, di sepanjang jalan terlihat pantai yang elok dengan batu-batuan yang
indah. Itu loh, batu hias yang sering
digunakan orang untuk membuat taman, bentuknya
bulat bewarna putih ada bintik-bintik hitam. Orang menyebutnya batu telur puyuh. Banyak terdapat
di pantai Muare Kedurang.
Dulu sewaktu sekolah dan belum merantau.
Maklum di Kedurang hanya terdapat satu sekolah setingkat SMA. Aku juga suka
ikut mengambil batu ini di pantai. Lumayan untuk nambahin uang jajan. Kerjanya
cuma saat liburan sekolah saja. Batu tersebut dijual bukan saja di Bengkulu dan sekitarnya bahkan sampai ke pulau Jawa. Harganya menjadi mahal setelah sampai di
sana.
Angdes
begerak perlahan memasuki dusun , melewati dusun Durian Sebatang baru dusun
Nanti Agung. Entahlah dari kecil dulu aku sering bertanya kenapa dinamakan dusun Nanti
Agung. .
“ Nanti dusun ini bakal Agung “ jelas Bak, suatu hari.
Angdes
berhenti tepat di depan rumahku. Ini
adalah ciri perkampungan khas Indonesia. Rumah penduduk berjejer di sepanjang
aliran sungai. Pemukiman penduduk di Kedurang juga mengikuti pola tersebut,
rumah kami bebaris menghadap jalan.
Aku
tiba di rumah, lega rasanya. Memang di antara sekian banyak rumah, hanya rumah
kami yang agak berbeda. Itu karena bapak adalah ketua adat atau sekelas kepala
dusunlah. Gelar kepala adat ini sudah turun temurun disandang keluarga besarku.
Mungkin nanti akan diturunkan juga kepadaku, jika aku menetap di dusun ini, hehehe!
Aku
disambut dengan suka cita, seperti sudah lama tak berjumpa denganku. Setelah
bercengkrama tak terasa sudah masuk waktu Zuhur, aku bergegas salat di
musholah. Masih seperti dulu, hanya beberapa orang saja yang sempat berjama’ah
.
“Kapan
pulang Kang?” tanya seorang Datuk
“Sudah
selesai kau kuliah?” lanjutnya lagi
Aku
menoleh meraih sumber suara, aku salami Datuk dengan lembut.
“ Baru datang tadi sebelum zuhur. Belum wisuda
aku Tuk, mohon do’anya ya “
Terlihat
wajah mendung di wajah Datuk tadi. Namun aku tak sempat bertanya-tanya. Kenapa dia yang bersedih.
@@@.
Alhamdulilah
meski ini dusun, listrik sudah masuk ,
hanya dusun Batu Ampar
yang masih menggunakan listrik tenaga surya akibat
belum terhubungnya jaringan listrik antara dusun Rantau Sialang dengan dusun Batu Ampar. Siaran televisi pun
mulai beragam kebanyakkan memang masih menggunakan antena parabola.
Usai
Maghrib, Emak menyiapkan kami gulai ikan Mungkus, bau sedapnya menjalar-jalar
di urat saraf hidungku, mengais-ngais. Ini merupakan makanan kesukaanku. Selalu
rindu dengan masakan ini. Tak ada duanya, di tempat lain pun tak kutemukan.
Bahkan di belahan dunia sana. Ikan air tawar yang hanya ditemukan di sungai
Kedurang.
Mamang Alim datang, ikut makan bersama kami, dia datang bersama
dengan Ibung Sami dan dua anakknya.
“
La, belum juga selesai Kakang ni kuliah. Kapan lagi. La delapan orang sarjana
yang ada di dusun kita ini. Walau tidak semua dari mereka mengabdi di dusun ini. Maklum lapangan kerja
tak ada yang cocok dengan ijazah mereka. Tak apa asalkan tetap mengharumkan
desa ini. “ Urai adik Bak yang satu ini berpanjangan. Mengetahui kalau aku
belum wisuda.
Kulihat
Bak mengusap mukanya yang penuh keriput, desah napas berbau tembakau itu
terlihat sangat letih. Aku pun tak tau mengapa Bak sangat mencemaskan
skripsiku. Padahal insya Allah bulan Juni aku wisuda. Kenapa Bak sangat mengkuatirkan semua ini. Secara usia aku juga
masih muda. Belum terlalu tua untuk disebut mahasiswa abadi. Jangan-jangan Bak
sudah mau mengambil menantu ya, pikirku sambil terkekeh sendiri.
Mulai
tak terasa sedap gulai ikan Mungkus di lidahku kali ini, melihat gelagat Bak. Aku menyomot sepotong kue Bipang. Campuran beras ketan dan gula arennya
membuat kue ini terasa nikmat di santap. Tak terasa sudah tiga potong kue ini kumakan. Namun tiba-tiba perutku mules,
aku segera belari ke dapur. Mengamankan pencernaanku.
Tak
lama aku mendengar ocehan mereka, sayup-sayup aku mendekat , nguping dari balik bilik dapur.
“Bagaimana
ini , Julis belum tamat juga. Bisa kacau
urusan kita. Cuma menungu dia saja lagi. Sudah bertahun-tahun ini , Kak!“ ucap
Mamang Alim
Aku
tercekat, maksudnya apa ya, menunggu bertahun-tahun dan itu semua dialamatkan
kepadaku. Aku mulai merapatkan dan membersihkan daun telingaku, agar bisa
menyerap informasi lebih banyak. Mereka menunggu aku. Aha, sepertinya ada yang mulai tak beres, tapi karena apa. Aku belum menemukan
jawabannya.
Agaknya
kepulangaku kali ini menjadi hot
topik di dusun ini, kulirik Emak yang duduk di pojok beranda. Sambil berbincang
dengan Ibung. Mereka makan sirih dengan
asik, terlihat mulut mereka kemerahan
akibat campuran sirih, kapur dan ramuan lainnya. Tapi gigi mereka kuat meski sudah tua, masih
kuat untuk makan daging dan yang keras-keras. Kalah dengan gigi odol
kepunyaanku, hehehe!
@@@
Malam
ini cuaca Kedurang terasa makin panas, bukan karena lokasi dusun ini yang
berdekatan dengan pantai. Tapi karena pikiranku yang kalut. Aku membuka jendela
kamar. Terlihat bulan seolah menyapa. Rumah panggung ini menjadi sangat berguna
untuk melihat situasi keadaan di bawah sana. Jalan-jalan sudah mulai sepi.
Sebagian lampu rumah penduduk mulai dimatikan. Hari hampir berganti waktu. Aku
tak bisa tidur. Percakapan Bak dan Mamang tadi mengusik tubuh letihku. Aku
seolah usai minum dua gelas kopi. Adrenalinku mendadak meningkat dan hasilnya,
sudah berbolak-balik aku tak bisa tidur. Ucapan Bak dengan Mamang Alim
terngiang selalu. Dan, semua itu semakin membuat cuaca di malam ini bertambah
panas.
“
Kapan lagi , ini la terlalu lama, jangan sampai leluhur kita nanti marah. Bujuklah
Kakang Julis tuh supaya cepat selesai kuliahnya. Biar aman desa kita ini. “
serang Mamang Alim.
“Menunggu
yang lain masih terlalu lama , paling rendah di bawah Julis itu mereka baru kuliah
semester empat. Itu artinya kita akan menunggu lama lagi. Iya kalo Kakak ada
kesempatan waktu dan umur” lanjut Mamang Alim.
Sebenarnya
apa yang disembunyikan mereka , aku semakin tak mengerti kemana arah pembicaraan
mereka. Aku mencoba menganalisa dan mengkait-kaitkan. Lama aku tertegun di
kamar, matahari fajar segera datang, usai salat subuh di musholah. Aku
berjalan-jalan mengitari kampung, tak ingin segera pulang. Aku ingin bertandang
ke rumah Datuk. Dalam perjalanan aku di sapa banyak orang, mereka semua
bertanya hal yang sama kapan aku di wisuda. Waduh! Pertanyaan biasa namun menjadi luar
biasa di tengah situasi aku seperti saat ini. Ingin rasanya segera mengubur
badan ke dalam bumi, saking penaknya!
“
Do’akan ya, secepatnya! Insya Allah , dua bulan lagi “ jawabku sambil tersenyum
mendengar sapaan dan pertanyaan mereka.
Sampai
di rumah Datuk, tak kujumpai lelaki tua itu. “ Datuk sudah ke sawah Kang, susul
saja jikalau perlu. Masih ingatkan jalan menuju sawah” jawab Niniak ramah.
“
Kau kemari mau memberi kabar kapan kau wisuda bukan?” Aduh Niniak pertanyaan
itu lagi. Apakah persoalan kapan aku wisuda sudah menjadi pertanyaan wajib
setiap orang di dusun ini. Tidak tua, muda, bahkan anak kecil pun ketika
pertama kali aku pulang ke sini, menaiki Angdes.
“Kakang Julis, kapan wisudanya?” .
Aaarrrrrggghh, pusing aku dibuatnya, makiku pada diri sendiri.
Ingin
sekali aku menuju sawah ,menyusul Datuk. Curhat
dengan Datuk! Namun rasa lapar yang melilit membuat aku mengurungkan niat.
Matahari mulai tampak. Usai pamitan
dengan Niniak aku bergegas pulang . Ketika sampai di rumah, aku berpapasan dengan
Mamang Alim, rupanya beliau usai berbincang-bincang dengan Bak. Kedatanganku
sepertinya membuat mereka terpaksa untuk berhenti ngobrol. Aku berlalu, menuju
ruang tengah.
“Makanlah
Kang, ini beras Seginim baru petang semalam Mak beli. Masih hangat keluar dari
heler padi. “
Iya
beras daerah Seginim sangatlah terkenal di wilayah Bengkulu Selatan
ini bahkan sampai ke kota Bengkulu. Letaknya sangat dekat dengan Kedurang di
perbatasan barat dengan kecamatan Air Napis. Berasnya bersih, kalau ditanak
menjadi sangat harum. Rasanya gurih. Cukup dimakan dengan sambal caluk saja, makan bertambah lahap,
apalagi kalau dimakan di pondok sawah, dihembus angin sepoi-sepoi. Wah, dunia berasa indah. Pekerjaan mengusir
burung di sawah menjadi sangat ringan.
Aku
nyeruput kopi hitam buatan Mak,
rasanya mendadak pahit. Apakah aku sakit, apa memang kopi ini lupa berikan gula.
Aku menelan ludah lalu berlari ke dapur.
“Ada
apa Kang, kok kepulangan kau kali ini tidak seperti biasanya. Kau terlihat gelisah. Seperti ada yang kau
sembunyikan. Ceritalah dengan Mak, duhai anak Mak yang gagah”
Aku
mendekat, duduk persis di sebelah Mak, jika tak malu dengan usia, rasanya ingin
sekali aku merebahkan tubuhku di pangkuan Mak. Sembari Mak mengusap rambutku
dengan lembut. Ya, seperti aku kanak-kanak dulu.
“Mak,
aku malu , semua orang tengah membicarakanku “
“Soal
apa? “ tanya Mak
“Kapan
aku wisuda? “
“ Lalu, apa masalahmu” tanya Mak lagi
Sekonyong-konyong
terdengar suara serak Bak mendekat
“Kapan
kita ke Bengkulu, Bak mau bertemu dengan dosen kau. “
“
Untuk apa Bak” tanyaku cepat
“
Mempertanyakan bagian mana yang sulit dari skripsimu dan mengapa kau lambat
sekali wisuda. Biar Bak selesaikan dengan beliau. Jikalau perlu kita kasihlah
dia buah tangan “
“
Apa! Menyogok maksud Bak!” Aku terperancat. Oh, ini tidak bisa dibiarkan. Bakal
gawat urusannya nanti.
“ Biasa aja itu , zaman sekarang dosen membantu
skripsi anak didiknya. Malah ada yang memang dosennya yang mengerjakan. Nanti
tinggal dibayar jasanya “ terang Bak.
Haduh,
apa yang sedang merasuki pikiran Bak . Aku harus segera bertindak sebelum
semuanya menjadi tambah sulit. Aku harus segera pulang ke kampus , desisku.
“Wah,
kalau dengan cara begitu Kakang tidak setuju Bak, bagaimana pun juga skripsi
itu adalah tugas dan tanggujawab mahasiswa”
“Tapi
sampai kapan kami menunggumu, kalau ada cara pintas kenapa harus menggunakan
cara lambat. Yang penting kamu wisuda dapat gelar sarjana’ suara Bak mulai
meninggi.
Aku
istiqfar berkali, kali. Bak meninggalkan
kami sejenak lalu datang lagi.
“Ini
uang untuk kau berikan kepada dosenmu, pastikan dia yang menerima langsung
sehingga urusan skripsimu cepat selesai. Bak tak mau tahu lagi urusan skripsimu
ini. ” suara Bak kian meninggi.
“Jangan
Bak, jangan lakukan itu. Biar semua urusan ini aku yang selesaikan. Lagipula
tak lama lagi, insya Allah masih ada waktu. Mana mau dosennya Bak, menyuap itu
perbuatan dosa!” jelasku hati-hati, badanku gemetaran. Takut Bak marah.
“Uang
ini sudah lama Bak siapkan sejak 6 bulan lalu kau pulang terakhir kali. Bak
pikir kepulangan kau kali ini akan mengabarkan kapan kau di wisuda, tapi sekali
lagi kau mengecewakan kami. “ gerutu Bak.
Aku
tertunduk, melirik Mak yang cuma diam. Tak ada pembelaan.
“
Kalau begitu, Kau harus berusaha dan berjanji!” suara Bak kian meninggi.
Aku
menggeleng kuat. Bak meminta aku berjanji, itu yang berat. Aku mendadak anemia,
badanku lunglai. Apa! Aku telah mengecewakan Bak. Skripsiku yang jadi tumbal
kemarahan Bak. Tapi tak ada jalan lain.
Perjanjian adalah satu-satunya solusi saat ini, urusan yang lain nantilah kita
pikirkan. Aku tak mau Bak berdosa dengan urusan sogok - menyogok ini, lagipula aku
malu masa urusan skripsi saja mesti
orang tua yang turun tangan.
“
Baiklah Bak, dua bulan lagi Insya Allah, aku di wisuda. Aku berjanji Bak!”
ucapku mantap.
“
Pegang janji kau Julis!! Besok lusa kau balik ke Bengkulu biar Mamang Alim yang ngantar “ Aku tak bisa berkata apa.
####
Dua
bulan aku berjuang untuk skripsiku. Janji dengan Bak segera ingin aku tunaikan.
Ya, hari ini Alhamdulillah aku berlepas diri dari soalan skripsi. Aku bisa
memenuhi ucapanku dengan Bak. Masa wisuda akan segera datang. Kabar baik ini
sudah aku kirimkan ke dusun. Hari ini adalah kepulanganku untuk menjemput
mereka mendampingi aku menggunakan toga sekitar sepekan lagi.
Aku sampai di rumah, namun kulihat
orang-orang sangat ramai berkunjung ke rumah. Apa ada pesta yang akan digelar
Bak dan Mak di rumah. Tapi kenapa mereka tidak memberitahuku tentang ini semua.
Lagipula jika hanya untuk menyambut keberhasilanku diwisuda, rasanya acara ini
sangatlah berlebihan. Semua mata memandangiku, melayangkan senyum atas kedatanganku.
Aku membalas semua senyum dan tatapan mereka dengan ramah sekaligus risih.
Aku lihat orang-orang ada yang
memasang tabir, menggantung tirai, membelah kayu api, sebagian lagi menegakkan
bubungan. Rupanya akan ada pesta besar, pikirku. Di samping rumah kulihat para
wanita sedang menyiapkan priuk belanga. Mulai bertanak-memasak.
Mengukus-membakar aneka juadah penyaram sejenis makanan yang terbuat dari
adonan pisang dan gandum, kue Bajik sudah tercetak di talam dengan rapi.
Aku
semakin bingung, segera kutemui Bak . Kulihat ada sembilan ekor sapi tertambat
di halaman samping. Wah, rupanya akan diadakan pesta besar-besarn, pikirku.
Tapi darimana Bak menyiapkan dana ini semua. Ini butuh modal besar, harga sapi
saja sekarang sudah sangat mahal.
“ Acara apa ini Bak, Mak! Acara
wisudaku masih sepekan lagi,” tanyaku bingung
Bak
menyeringai,
“ Kau tak perlu gusar. Biasa saja acara ini, untuk menyambut
keberhasilan wisudamu. Besok acara puncaknya. Kau ikuti saja. Inilah adat kita
“ jelas Bak santai
####
Ghumah
Panggung kami penuh sesak, tamu sudah mulai berdatangan. Berhimpitan, bercampur
baur lelaki dan perempuan. Kanak-kanak, berlarian bermain tanpa hirau. Aku
duduk berdiam diri tak mengerti. Sesekali berdiri dan menyalami para tetamu
yang datang. Mereka hangat sekali menyapaku, aku jadi sangat tersanjung tapi
tetap saja bingung. Barisan dayang belai,
sudah berbaris di kursi bagian depan. Mereka tampak rapi dan indah, memakai
pakaian yang tidak biasanya. Begitu terasa sangat istimewa wisudaku kali ini,
gumamku.
“Selamat
ya Kang, akhirnya tertunai sudah hari ini. Semoga semua berjalan lancar” Salam Datuk menjabat erat tanganku
dan memelukku kuat. Aku membalas semuanya dengan tadzim.
“ Iya Atuk, tapi ini rasanya sangat
berlebihan. Masa hanya untuk wisudaku” serangku
Datuk
tersenyum, terpapar gigi merah menyirihnya, “ Kau patut bersyukur, hari ini adalah
hari yang sangat ditunggu-tunggu Bak dan keluarga besar kita Kang”.
Tiba-tiba
terdengar suara Mang Alim dari alat pengeras suara, tanda acara akan segera
dimulai.
Mamang
Alim, naik ke panggung, “ Alhamdulillah, hari yang telah kita tunggu selama
hampir 30 tahun ini. Akan segera kita tunaikan sebentar lagi, “ Ucapnya lantang
sembari disambut tepukan dan suara gemuruh para tetamu.
“Depati
Reslan dan Kang Julis yang akan memimpin langsung acara ini, bersiaplah segera
alat perkakas kita untuk dibawa ke kawah” Mendengar itu aku terperanjat, apa
yang harus aku pimpin, dan kenapa
harus ke kawah. Bukankah itu daerah pemakaman para nenek moyang kami. Tak
sempat berpikir lagi, Datuk telah menyeretku berjalan dan diikuti oleh Bak dan
keluarga yang lain. Aku terpaksa, meski bingung.
Lalu
orang-orang membawa sembilan ekor sapi dan alat perkakas untuk memotong sapi.
Semua tamu serentak berjalan mengikuti kami dari belakang. Setelah berjalan
sekitar lima belas menit. Sampailah kami ke kawasan kawah, tanah kuburan.
Rupanya di sana juga sudah menunggu beberapa orang yang sudah siap dengan
perlengkapan hendak memotong hewan, ya, seperti layaknya perayaan kurban. Aku
tercenggang.
Rombongan
kami siap sedia, acara akan dilanjutkan, semua pasang mata sudah siap dengan
tugas mereka masing-masing, aku menunggu tahapan selanjutnya dengan perasaan
campur aduk.
“
Saksikan wahai kau nenek moyang kami. Hari ini akan kami tunaikan janji anak
cucu ini kepada engkau. Kami pastikan bahwa desa ini akan Agung seperti namanya
Nanti Agung. Sesuai sumpah leluhur kami, akan ada banyak pujangga dari dusun
Nanti Agung ini akan meraih gelar
sarjana. Maka pada hari ini sudah harusnya kami tunaikan janji ini. Sudah ada
sembilan pujangga dusun ini yang menjadi sarjana. Dan pada hari ini kami
persembahkan sembilan sapi ini untuk janji tersebut “ mendengar penjelasan Bak,
kepalaku semakin berdenyit.
Oh,
inikah alasan mendesak Bak memaksa aku untuk diwisuda, karena ingin segera
menunaikan janji ini kepada para leluhurnya. Oh, apakah bak tidak tau hukum menyembelih
binatang di kuburan, ini dosa, mengapa ini bisa terjadi, pikirku. Aku menggamit
tangan Datuk
“
Tuk, mengapa harus menyembelih sapi ini di kuburan, bukankah ini perbuatan
syirik. Dosa besar tuk “
Datuk
menggeleng, ‘” Ini dilakukan untuk memunaikan janji, agar para leluhur kita
tidak marah. Dulu dusun kita selalu dihina dilecehkan oleh dusun seberang, oleh
karena itu ketika terjadi perang mulut, terucaplah sumpah itu, jika nanti sudah
terdapat sembilan orang sarjana di dusun kita, maka kita akan memotong sapi sembilan
ekor.”
“
Tapi mengapa harus di kuburan Tuk memotongnya “ aku pusing melihat kondisi ini,
apalah artinya wisudaku jika dirayakan dengan acara syirik seperti ini.
Pikiranku berkecamuk, rasanya ingin berlari, namun entah kemana. Aku sebagai
anak yang berpendidikan tak bisa mengajak dan memberitahu Bak, apalagi mencegah
perbuatan ini.
Sembilan
sapi tersebut, sudah siap akan dipotong. Mereka terikat terpaksa mengikuti tali
tambatan. Tiba-tiba hapeku berdering, kulihat semua nomer yang sangat dikenal
dan ada dua sms yang masuk. Kuangkat di tengah riuh suara tetamu . Mendengar
kabar di seberang luluh lantaklah badanku. Tak kuasa aku menjawab dan bertanya
lebih banyak lagi. Dengan tangan gemetar kutunjukkan isi pesan singkat itu
kepada datuk. Segera dia membacanya.
“
Julis, ini kabar buruk . Kau tidak jadi di wisuda minggu depan karena kau
ketahuan menyogok dosen pada saat sidang seminar. Skripsimu dibatalkan.”
Aku
terpekik kencang , “ Tidaaaaaaaaaaaaaaaak, apakah ini hukuman darimu ya Allah
aku tersungkur!”
Siapa
yang tega melakukan hal ini kepadaku,
Bak , Mang Alim atau siapa?
Dan
semua mata terperanjat langsung melihatku. Dan sms di hapeku bergiliran dibaca
oleh semua orang. Langit mendung menyelimuti Kedurang, semua orang berkata “
Tak jadi Julis di Wisuda?”
Aku
tersungkur, berpelukan dengan tanah. Kedurang semakin terasa panas.