Pesan
Terindah Dari Bapak
Milda
Ini
“Bapak tidak meninggalkan harta untuk kalian ,
hanya satu Masjid yang mulai rapuh dimakan zaman.Masjid ini akan hilang jika
kalian tidak menjaga dan merawatnya. Jadikan ia sebagai tempat terindah di hati
kalian...!” Suara Bapak kian pelan ,hilang dan berhenti bersama napas terakhirnya.
Genggaman tangan Bapak kian melemah dan
terlepas dari tanganku.Tubuh Bapak seketika terbujur kaku, tegang tak
bernyawa.Sejurus kemudian semua menanggis, Kakak-kakakku dan Emak terlihat mengusap
air mata berkali-kali. Kami mengelilingi jasad Bapak di kamar kecil seluas 3x2
meter. Bapak sudah tidak bisa bersama kami lagi. Bapak meninggalkan kami untuk
selama-lamnya. Pada hari ini setelah hampir dua tahun beliau mengidap penyakit
aneh yang tak kunjung sembuh.Tak ada yang tahu pasti penyakit apa yang
bersarang di dalam tubuh Bapak. Padahal kami sudah berupaya dengan segala cara
untuk kesembuhannya. Namun usaha itu
belum membuahkan hasil. Semoga dengan sakit ini bisa membuat Bapak sabar dan
bisa menjadi penggugur dosa-dosanya.
Bapak sudah keluar masuk sakit,
entah berapa kali tak sempat kami mengingatnya. Biaya juga sudah terkuras untuk
pengobatan tak bisa dihitung lagi. Diagnosa dokterpun tak ada yang pasti.
Selalu menyisakan pertanyaan. Terakhir
aku mendengar percakapan Uwak bahwa Bapak terkena santet oleh tetangga yang
tidak senang dengan kepemimpinan Bapak sebagai ketua RT. Ya, Bapak adalah sosok pemimpin yang dimataku
sangat berhasil bukan saja di hadapan kami sebagai anak-anaknya tetapi juga di
masyarakat. Bapak sudah berhasil mengupayakan kesejahteraan bagi warganya. Dulu
lokasi tempat kami tinggal ini adalah kawasan hutan tak bertuan.Oleh Bapak
kemudian diusahakan agar setiap warga memiliki lahan tersebut dengan surat
sertifikat yang jelas. Kalau dilihat memang hampir semua ukuran tanah warga di
sini sama, hanya sedikit ada perbedaan pada tanah yang berada di sudut jalan.
Kemudian
Bapak juga berusaha untuk bisa memasukan listrik dan ledeng ke rumah warga dengan perjuangan yang panjang
akhirnya masyarakat bisa merasakan hari yang terang meski di malam hari. Bisa
merasakan sejuknya air yang bersih yang bisa diputar kapan saja tanpa harus
mengeluarkan tenaga yang berat. Merasakan jalan beraspal. Bisa mengalirkan air comberan ke dalam selokan yang terangkai
rapi di sepanjang jalan. Menghirup udara yang bersih tanpa bau sampah yang
menganggu karena ada petugas sampah yang akan menganggutnya setiap hari. Banyak
hal baik yang sudah bapak gulirkan namun begitulah hidup selalu ada dua sisi
yang berbeda. Ada yang suka dan sebaliknya.
Hmmmm,
itulah sosok Bapak sang pemimpin keluarga yang sangat aku kagumi. Kini Bapak
sudah bertemu Allah SWT dan tidak meninggalkan kami harta berlimpah. Namun ilmu
dan sebuah bagunan rumah Allah yang ia wariskan. Beliau meninggalkan kepada
kami sebuah bangunan yang bernama Masjid Al-Amin. Letak Masjid ini hanya lima
puluh meter dari rumah kami. Jika suara azan dan kegiatan berlangsung akan
terdengar sangat jelas ketelinga kami di rumah. Malu rasanya jika tidak datang
memenuhi panggilan itu. Bukan saja malu kepada Bapak tetapi sangat malu kepada
Allah SWT.
Masjid Al-Amin adalah
buah kerja keras Bapak. Dimana dulu masyarakat di sekitar rumahku sangat jarang
sekali melaksanakan sholat apalagi sholat berjama’ah. Sholat di Masjid adalah suatu
pemandangan yang sangat langka untuk dilihat.
Masih banyak yang percaya dengan perdukunan dan sihir. Kepercayaan
terhadap sesuatu yang tak jelas. Suka
berjudi, mabuk-mabukan dan menyembah sesajen. Perzinaan adalah hal yang biasa. Menakutkan
sekali. Meski Bapak bukanlah seorang Ustad namun Bapak mempunyai keyakinan yang
kuat terhadap kebenaran yang disampaikan oleh ajaran Islam. Kami dipaksa untuk
taat beribadah. Melihat itu semua oleh Bapak tanah pembagian itu salah satunya
dijatahkan untuk membangun Masjid dan tempatnya
dipilihkan yang paling strategis
dan mudah digapai oleh semua orang. Meskipun pada awalnya bangunan ini hanya
terbuat dari bahan bambu dan kayu yang sederhana. Di buat seperti rumah
panggung yang sangat seadanya namun bisa menampung berbagai kegiatan keagamaan
dan ibadah. Lambat laun bangunannya juga mulai dipugar dan dibuat kokoh seiring
dengan besarnya motivasi masyarakat untuk memuliakan Masjid dengan infak dan
sedekah.
Masjid
Al-Amin terletak ditengah pemukiman rumah penduduk dikawasan Jalan Iskandar 6
RT V No 50 Kelurahan Tengah Padang Kota Bengkulu. Bangunannya kini semakin
terawat dan terurus. Semakin megah dan rapi. Hanya ini warisan Bapak, agar kami
memakmurkan dan mencintai Masjid. Pada awal dulu kami bahu membahu adik-beradik
meramaikan semua kegiatan di Masjid ini. Mulai dari sholat, kegiatan keagamaan
dan sosial semua berawal dan dibicarakan di Masjid.
Kakak
laki-lakiku mulai belajar utuk mengumandangkan adzan dan belajar menjadi imam .
Mulai mengahapal berbagai surat pendek. Hampir setiap hari ia belajar mengaji,
membaca berbagai buku-buku agama dan mulai berani untuk membacakan adzan dan
menjadi imam. Setiap tiba waktu sholat, kami bergegas untuk datang ke Masjid. Sedikit demi sedikit kami mulai
menciptakan berbagai kegiatan keagamaan yang dipusatkan di Masjid. Perlahan
namun pasti mulai terasa nuasa dan selera islami menyeruak hadir diantara
kehidupan warga di sekita Masjid. Apalagi setelah tamat kuliah, aku semakin
banyak waktu untuk dihabiskan di Masjid.
Sampai
pada suatu hari ibu-ibu yang biasanya ikut majelis taqlim setiap jum’at siang ,
hari itu sedikit sekali yang datang. Aku malu kepada Ustadzah yang
mengisi acara pengajian siang itu. Pada kemana ibu-ibu yang biasanya rajin
datang pengajian, gumamku sambil celingak-celinguk melihat sekeliling ruangan
Masjid. Siapa tahu ada yang menyusul hadir diantara kami. Setelah sekian menit
menunggu, tidak ada lagi yang datang. Akhirnya pengajian hari ini kami mulai
meski hanya dihadiri enam orang ibu-ibu yang setengahnya paruh baya.
Mengapa
siang ini mereka kompak untuk tidak datang. Ada apa? Sampai menjelang akhir
acara pengajian aku masih memikirkan kondisi ini. Aku berdiskusi dengan Ustadzah
dan salah satu ibu.Mencari jalan keluar apa yang sebenarnya terjadi. Menjelang
sore aku duduk di beranda bersama Emak. Dalam obrolan sore itu aku mendapatkan
cerita dari Emak, mengapa ibu-ibu tadi sedikit yang datang ke Masjid.berasal
dari salah satu ibu warga di sini yang suaminya satu tempat kerja dengan suami
Ustadzah yang mengisi acara pengajian kami. Suami ibu itu menyebarkan kabar
kepada ibu-ibu yang lain bahwa Ustadzah
dan suaminya itu membawa aliran sesat. Hah, aku melotot dan hampir tak percaya dengan apa yang Emak
sampaikan. Oh, jadi ini penyebabnya.
Masya Allah, sebegitunya, padahal ibu itu belum
mengenal siapa Ustadzah tersebut dan suaminya. Datang ke pengajianpun
tidak pernah, kok bisa dia
menyebarkan berita bohong ini. Aku menghela napas panjang. Tak habis pikir.
Sore
itu aku langsung bertandang ke rumah Ustadzah itu menceritakan semua hal yang
baru saja terjadi. Kami berdiskusi dengan matang. Biarlah Jum’at depan kita akan tetap menggelar pengajian
meskipun sedikit yang datang. Anggap saja tidak terjadi apa -apa. Masa hanya
karena ini kita akan mundur. Ini hanya batu sandungan kecil bagi perjalanan
dakwah ini. Kemudian suami Ustadzah itu akhirnya silaturahim ke rumah teman sekantornya itu sembari membawa buah
tangan. Bukankah hati yang keras akan menjadi lunak dengan hadiah dan makanan
yang diberikan secara ikhlas. Dengan saling mengenal dan menjaga ukhuwah akan
memperpanjang usia serta membuat
hubungan pertemanan semakin membaik. Akan terjalin suatu hubungan kekeluargaan yang tak ternilai harganya. Pada waktu pertama kali
bertandang suami ibu itu kaget. Setelah itu dua tiga kali silaturahim, keluarga
ibu itu semakin mengenal siapa Ustadzah dan suaminya. Namun tetap saja hati
mereka keras dan tidak tersentuh. Memang hidayah itu hanya mutlak kepunyaan
Allah walau kami sudah berusaha namun belum berhasil menyentuh hati mereka. Kabar
baiknya mereka tidak lagi menyebarkan informasi yang tidak-tidak dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan tentang pengajian ini. Pengajian jum’at tetap kami
lanjutkan seperti bisa. Ibu-ibupun semakin cerdas untuk memilah informasi karena
mereka juga sudah dekat dengan Ustadzah dan kegiatan islam. Mereka semakin
menjadi pintar dan tidak mudah untuk dipengaruhi. Malah acara pengajian semakin
ramai dan seru. Sesekali kegiatan pengajiannya diselingi dengan kegiatan
memasak dan makan-makan. Ibu-ibu semakin bersemangat.
Aku
lupa hari itu tepatnya seperti apa tapi yang pasti menjelang sholat Asar, aku
duduk bersama Kakakku, ia memandangi sebuah celengan kecil yang sudah mulai penuh.Tangannya
menggoyangkan celengan itu lalu terdengar bunyi gemericik dari dalam tabungan
itu. Ketahuan sekali kalau isi celengan itu kebanyakan uang receh. Aku tak berani bertanya banyak. Kami sejenak
diam membisu dalam pikiran yang menerawang. Angin sore mulai masuk rumah seolah
memberitahukan kami bahwa hari mulai
akan berganti dan malam akan datang. Aku masih terpaku. Untuk apa ya celengan
ini, Kakak keluarkan dari persembunyiannya.
“sudah
lama Kakak mengumpulkan uang ini. Semoga uang di dalamnya cukup ya Dek?” aku
hanya mengangguk.
“semoga
Bapak senang juga, dengan apa yang kita perbuat. Semoga hal ini bisa menjadi
penerang kuburnya. Jangan lupa do’akan Bapak ya Dek!”
Ternyata
uang itu akan dipergunakan untuk membeli sebuah tape dan kaset-kaset murotal Al-Qur’an. Aku tergugu dan menitikkan air
mata ketika menerima uang yang telah dikumpulkan Kakak tersebut. Aku tahu uang
itu hasil jerih payah beliau yang dikumpulkan setelah menjual sangkar burung
hasil buatannya. Hari demi hari ia menyisihkan uang tersebut. Padahal kakak juga menanggung
kebutuhan hidup kami setelah ditinggal Bapak. Aku belum mendapatkan pekerjaan
yang tetap karena baru juga selesai kuliah. Rasanya aku tak kuasa membelanjakan
uang tersebut karena aku tahu Kakak juga sangat membutuhkannya. Namun aku juga tak
ingin melihat Kakak nanti akan bersedih
jika aku tidak membelikan pesanan beliau tersebut.
Dengan
air mata yang meleleh aku berangkat ke pasar. Penat sekali kakiku mencari-cari Tape yang murah namun bisa bermanfaat
karena uang yang ada sangat minim. Hampir memelas ketika aku menawar harga
dengan penjualnya. Dengan meminta pengertian mereka akhirnya Tape itu bisa aku dapatkan, ada saja
hati pedagang yang tersentuh untuk beramal. Kemudian aku membeli kaset
pengajian. Meski lelah aku berusaha untuk tetap semangat. Terbayang olehku
wajah teduh Kakak yang tak pernah letih mengumpulkan uang tersebut . Masa aku
yang hanya membelikan sudah merasa lelah. Rasa panas dan haus tak terasa olehku. Aku kian bergegas
melangkah.Sepanjang jalan aku membayangkan wajah senang anak-anak dan jama’ah Masjid
ketika mendengarkan lantunan ayat-ayat Al- Qur’an ini dan senandung Nasyid yang
dibawakan oleh Raihan. Sengaja aku memilih mereka karena lagu-lagu mereka
terdengar nyaman dan biasa terdengar di telinga warga. Lagu yang sederhana namun
berisi pesan hidup yang sangat bermakna.
Akupun
mulai bersemangat untuk mengajari anak-anak untuk bermain Rebana dan membawakan
lagu Nasyid. Pada setiap ada acara peringatan hari besar Islam. Anak- anaklah
yang paling banyak berperan dalam
mengisi acara tersebut mulai dari pembawa acara, tilawah dan mengisi acara
hiburan. Masjidpun semakin terlihat bernyawa dan semakin sering didatangi warga
untuk melaksanakan berbagai kegiatan
islami. Selain kegiatan utama kami juga sering melakukan rangkaian kegiatan
lomba yang bekaitan dengan tema acara hari besar islam seperti lomba azan,
lomba membaca Qur’an dan lomba mengapal hadist atau surat pendek. Anak- anak dan orang tua semakin
bersemangat untuk datang ke Masjid.
Aku
selalu terngiang perkataan Bapak, bahwa
Masjid harus kami upayakan untuk selalu
ramai dengan berbagai kegiatan yang baik. Membawa Masjid dalam segala aspek
kehidupan kami. Menjadikan Masjid sebagai rumah utama setelah rumah tempat
tinggal kami, menjadikan Masjid tempat
mencurahkan hati dan belajar tentang islam. Menebar kebaikan pada sesama.
Kini
Masjid ini adalah warisan terbesar dari Bapak. Juga warisan Kakakku. Kakak yang
dulu seiya sekata denganku dalam menggerakkan roda kegiatan Masjid sudah
meninggal dalam usia yang relatif muda. Tanpa ia sempat melihat dan menikmati
bagaimana perubahan Masjid itu sekarang. Ia meninggalkan kami dalam keadaan
yang baik .Kakak yang suaranya meski
kadang diselingi batuk sangat dinantikan pada setiap jam sholat datang. Kini suara
itu telah berganti dengan Kakakku yang lain. Menjelang akan nikah beliau pindah
kerja dan mendekat dengan kami sehingga
kini dia berada di sekitar Masjid warisan Bapak.Sungguh di Masjid ini hati kami anak-anak Bapak saling terkait dan saling memuliakan
pesan terindah Bapak.
(kisah
dalam cerita ini, mengenai Mushollah Al- Amin yang terletak di
kelurahan Tengah Padang, di Jalan Iskandar 6 Kota Bengkulu. Dekat rumah
Orang tuaku loh )
Termuat dalam antologi Kumpulan Cerita Di Masjid Hatiku Terkait