Assalammu'alaikum Wr. Wb
Hello teman-teman, sedang marak soal imunisasi dan vaksin ya. Saya mau berbagi cerita dari sebuah tulisan yang saya baca. Isinya banyak informasi. Barangkali bisa mendatangkan inspirasi. Kita belajar bersama yuk!
Perdebatan pro – kontra vaksin sepertinya kian memanas, mengingat
dalam 1 minggu ke depan adalah Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dimana
semakin banyak orangtua cerdas memilih uuntuk menghindari vaksin.
Berbagai macam alasan para orangtua untuk memilih mengatakan TIDAK UNTUK
VAKSINASI, kelompok ini lebih dikenal dengan kelompok kontra vaksinasi
sebagai kelompok minoritas. Diantara alas an mereka adalah kekhawatiran
akan bahaya vaksin dan dari segi halal/haramnya produk yang digunakan.
Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tentunya wajar
sekali jika isu halal/tidaknya menjadi perhatian khusus para orangtua.
Dan hal tersebut pula yang saya kritisi kepada pihak Biofarma,
sebagai produsen vaksin lokal. Dimana sepengetahuan saya bahwa dalam
menentukan halal/tidaknya sebuah produk, diwajibkan proses audit dari
LPPOM MUI. Namun ternyata, lembaga tersebut tidak pernah mengaudit dan
pihak Biofarma mengakui bahwa mereka tidak pernah meminta untuk diaudit.
Aneh bukan? Pengakuan ini saya peroleh ketika menghadiri debat
pro-kontra imunisasi yang diselenggarakan oleh majalah Ayahbunda di
Jakarta.
Dalam 1 minggu menjelang dilaksanakannya PIN, situasi perdebatan
semakin memanas. Kemudian muncul sebuah argumentasi yang memojokkan
pihak kontra vaksinasi melalui sebuah blog.
Uraian ini bukan untuk menyudutkan siapapun, lebih memberikan
ketegasan sikap atas PRINSIP DASAR ALASAN bagi pihak kontra dalam
menolak vaksinasi. Saya akan mencoba menjabarkan secara bertahap analisa
dan jawaban atas argumentasi di bawah ini.
Dari sebuah blog yang saya baca, menuliskan bahwa “sistem
imunisasi/vaksinasi berasal dari dokter-dokter muslim zaman khalifah
Turki Utsmani, dan cikal bakalnya sudah ada dari zaman khilafah
abbasiyah. Referensi informasi tersebut menurut penuturan si pengirim
sumber email ada pada buku “1001 Inventations Muslim Heritage in Our
World” page 178. Tertera: “The Anatolian Ottoman Turks knew about
methods of vaccination, they called vaccination Ashi. or engrafting, and
they had inherited it form older turkic tribes”
Dalam hati, sejujurnya saya terkagum-kagum bahwa begitu hebatnya
ilmuwan Islam namun hingga saat ini dunia barat pun masih belum
memberikan pengakuan kepada para ilmuwan Islam. Satu kata yang menarik
perhatian saya adalah “ENGRAFTING”. Saya memiliki latar belakang
pendidikan dokter umum dan kebetulan ayah adalah seorang dokter
spesialis bedah, sehingga kata “ENGRAFTING” sudah sering saya dengar
sejak beranjak remaja.
Jika merujuk pada kamus kedokteran maka kata tersebut memiliki arti
melakukan penanaman pada bagian tubuh, bisa kulit dan sebagainya.
Lalu karena semakin penasaran akan istilah ASHI / ENGRAFTING di jaman
tersebut, maka saya telusuri mbah google demi memuaskan keingintahuan.
Prinsip dasar saya bahwa ilmu yang diterima haruslah seimbang, dalam
arti cek dan ricek adalah penting.
Sebagai kelanjutan kisah terhadap blog tersebut, maka mari kita lanjutkan hingga selesai uraian tersebut yah.
“Informasi berikutnya adalah Lady Mary Wortley Montagu (1689-
1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki saat itu, membawa
system vaksinasi ke Inggris untuk memerangi smallpox, tapi ditolak oleh
pemerintahan Inggris saat itu.
Untuk informasi mengenai Lady Mary ini, bisa juga dibaca di:
www/.psychologytoday.com/blog/child-myths/200909/lady-mary-wortley-montagucontributor-public-health
Berikut kutipan tulisan pada URL tersebut:
“Lady Mary Wortley Montagu was a pretty girl until she had smallpox at age 26 and was left with many pitted scars on her face and no eyelashes. Her only brother died of the disease. Despite her disfigurement, Lady Wortley Montagu recovered her health and energy. (And we should remember that plenty of other people had smallpox scars on their faces at that time, so the impact was not exactly what it would be if someone today had the same appearance.) With her husband, who was the British Ambassador to Turkey, and their little son and daughter, she traveled to what was then part of the Ottoman Empire.
She watched with interest as Turkish women carried out a method of inoculation for smallpox. This she described in letters to her family back in England. The Turks waited until cool fall weather came after the heat of the summer was over. They inoculated children by using the purulent matter from the sores of a person who had become infected with smallpox. Cutting into 5 or 6 veins (on the legs or upper parts of the arms), they poked the smallpox matter into the incision and then bandaged the site. The children seemed fine for some days, developed a fever for a few more days, and then generally recovered — immune to smallpox. Lady Wortley Montagu decided to have her own young son inoculated, accepting the fact that a small number of children were harmed by the inoculation, and he recovered well— immune to smallpox. Returning to England, Lady Wortley Montagu began efforts at public education about inoculation. Her friendship with the then Princess of Wales, later Queen Caroline, was a great support to her work (although it’ s probably the case that Lady Mary could have accomplished more if she’d had fewer boyfriends, who didn’t seem to mind the lack of eyelashes). Because of these efforts, the British public was prepared to pay attention 30 years later when Edward Jenner published his evidence about smallpox vaccination.”
Semakin penasaran dengan kisah diatas, maka saya telusuri lebih jauh
tentang smallpox, Edward jenner dan ashi Turkic tribes. Pencarian
akhirnya membuat saya menemukan link ini http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1200696/ dimana dalam link ini merupakan jurnal ilmiah akan sejarah Edward Jenner sebagai penemu vaksin cacar air/smallpox.
Dalam pengkajian lebih lanjut, semakin memperkuat keyakinan saya
bahwa vaksin saat ini dengan teknologi modern memang berbahaya tidak
hanya bagi orangtua namun juga bagi bayi dan anak-anak.
Prinsip dasar ASHI atau Inokulasi pada jaman itu hampir sama dengan
prinsip vaksinasi alamiah yang masyarakat lakukan terhadap campak.
Tentunya ayah bunda pernah mendengar anjuran banyak pihak bahwa jika ada
yang sakit campak, maka biarkanlah anak kita tertular dengan demikian
anak akan memiliki antibody terhadap penyakit tersebut dengan
sendirinya.
Nah ASHI, memang memaparkan penyakit terhadap orang sehat dengan cara
melakukan sayatan pada kulit daerah subkutan dan memberikan bagian dari
cacar air kedalamnya. Mirip namun tak sama.
Kemudian bisa dibaca pula uraian mengenai peran wanita tersebut
diatas dalam dunia kesehatan masyarakat pada link ini
eurpub.oxfordjournals.org/content/18/4/353.full
Setelah tuntas membaca dan mengkaji, Alhamdulillah keyakinan saya
tidak berubah bahkan semakin menguatkan bahwa vaksin modern yang
dipergunakan saat ini memang berbahaya.
Mereka telah salah memahami bahwa penolakan kami adalah pada prinsip
vaksinasinya. Padahal, penolakan kami adalah penggunaan bahan kimia yang
berbahaya didalam vaksin modern tersebut. Jika dianalisa dari tindakan
vaksinasi “kuno”, bisa kita pahami bahwa jaman itu mereka TIDAK
menggunakan bahan-bahan kimia seperti merkuri, garam alumunim, atau
bahkan menggunakan media hewan haram dalam proses pengembangbiakkan
kuman/virus.
Bagaimanapun dalam hati kecil saya saat membaca dan mencari tahu
lebih jauh, berpegangan pada prinsip bahwa seorang MUSLIM akan
menghindari penggunaan bahan haram dan berbahaya. Dan itu TERBUKTI.
Untuk mengetahui bagaimana peran garam alumunium dalam tubuh, silakan
dibaca penelitian ini dimana garam alumunium yang disuntikkan kedalam
tubuh seekor tikus memberikan kerusakan bahkan kehancuran dari sel
setiap organ tikus tersebut. Dosis yang digunakan tentunya disesuaikan
dengan tubuh tikus tersebut. Lalu bagaimana dengan tubuh seorang bayi
yang dilakukan berulang kali?
Link terhadap penelitian alum atau garam alumunium bisa dibaca disini :
- http://therefusers.com/refusers-newsroom/aluminum-based-adjuvants-cause-cell-death-and-release-of-host-cell-dna/
- http://www.sciencedaily.com/releases/2011/07/110717204910.htm
- http://www.nature.com/nm/journal/v17/n8/full/nm.2403.html
- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/21568886/
Link diatas hanyalah mengenai fakta akan bahaya garam alumunium yang
digunakan sebagai bahan adjuvant di SEMUA vaksin. Untuk bahan vaksin
lainnya, silakan ayah bunda telusuri mbah google dan belajar menganalisa
sendiri yaahh..
Mari dilanjutkan uraian dari blog diatas : “Adalagi informasi
lainnya. Untuk vaksinasi dasar, Indonesia telah berhasil membuat vaksin
sendiri, sudah terbukti uji klinis dan epidemiloginya, bahkan dieskpor
untuk kepentingan regional Asia Tenggara, di Biofarma, Bandung.
Masalah yang berkembang dan mencuat belakangan adalah vaksinasi
tambahan, termasuk meningitis untuk calon jamaah haji atau vaksin HPV,
yang masih diproduksi oleh produsen luar negeri semisal GSK.
*menurut penuturan seorang guru ngaji bahwa kebetulan beliau bekerja di balai POM, sudah ada vaksin meningitis yang halal untuk calon jemaah haji*”
Mengenai vaksin meningitis, ayah bunda bisa baca sendiri di harian
Republika edisi Jumat tanggal 14 Oktober 2011. Vaksin tersebut bahkan
baru-baru ini kembali dikritisi oleh Mantan Menkes Siti Fadhillah Sapari
bahwa semua vaksin tersebut tetap mengandung bahan haram alias babi.
So, menurut saya dalam mencari sebuah informasi bukan sekedar berbicara
dengan seseorang yang ilmunya terbatas.
Alhamdulillah informasi ini saya dapatkan LANGSUNG dari bu DR. dr
Siti Fadhillah Sapari, SpJK (K) sebagai mantan menkes lohh.. Ditambah
dengan pengakuan dari Biofarma bahwa mereka TIDAK PERNAH diaudit oleh
pihak yang berwenang dan dalam hal ini adalah LP POM MUI.
Kalimat terakhir yang mendorong saya untuk meluruskan informasi dari
blog tersebut adalah pernyataan bahwa seseorang yang bukan berasal dari
kedokteran sebagaimana tertulis demikian “apalagi kalau munculnya
dari orang-orang yang bukan ahlinya, atau bahkan ga punya background
pendidikan kedokteran sama sekali.”
Buat saya, seorang dokter atau bukan – ia punya kemampuan untuk
BELAJAR dari siapapun. Gelar dan sebagainya bukan jaminan bahwa individu
tersebut akan berkata benar. Belajar adalah kata kunci yang luar biasa.
Bahkan Rasulullah shalallahu alayhi wa salam menyuruh kita untuk tidak
taqlid atau belajar seperti kerbau dicucuk hidungnya, dimana apapun
perkataan seseorang yang dianggap pintar langsung dijadikan hukum tanpa
mempelajari lebih jauh. Dan Alhamdulillah informasi yang saya terima
justru berasal dari sosok-sosok yang memiliki kompetensi tinggi, seperti
DR. dr. Siti Fadhillah Sapari, SpJK(K) dan Prof. DR. Hasyim dari LP POM
MUI.
Kritikan tajam saya tujukan pada kalimat ini “sorry to say, maap-
maap yeee kalo agak kasar, menurut saya, orang tua yang menganggap
tidak mengimunisasi anaknya adalah pilihan terbaik dan adalah hak dia
untuk memilih untuk tidak mengimunisasi adalah orang tua yang LUPA, lupa
bahwasanya ada HAK ORANG LAIN untuk merasa aman dari ancaman penyakit
yang mematikan.”
Sebagai seorang dokter, saya memahami dengan baik bahwa jika kuman
yang disuntikkan dalam tubuh seseorang dengan daya tahan tubuh yang
menurun maka kuman/virus tersebut menjadi aktif bahkan menginfeksi tubuh
yang menerima vaksin tersebut. Dalam hal ini, siapakah yang
berjalan-jalan membawa bahan penyakit dan memiliki resiko memberikan
penularan kepada anak lainnya yang sehat? Sehat tanpa bahan kimia, sehat
karena ibunya memberikan pengobatan ala Rasulullah shalallahu alayhi
wasalam?
Ditambah lagi pengakuan dari salah seorang karyawan Biofarma bahwa
penyimpanan vaksin tersebut di beberapa wilayah pelosok Indonesia TIDAK
MEMENUHI STANDAR, sehingga kemungkinan vaksin rusak atau terkontaminasi
sangat besar.
Kembali pada kisah di blog tersebut “mau ngutip kalimat temennya ayah, beliau punya background pendidikan kedokteran dan sedang mengambil jenjang spesialis, aaahh:
“ﻪّﻠﻟَﺍ sdh Mengaruniakan akal buat kita, ilmu pengetahuan
manusia sudah tahu tentang vaksinasi, kampanye sudah dijalankan,
digratiskan lagi oleh pemerintah. Secara rasional, ga ada alasan lagi
untuk ga vaksinasi jadi, anggapan bahwa imunisasi / vaksinasi berasal
dari kedokteran barat yang penuh konspirasi untuk melemahkan umat
muslim, gimana?”
Sebagai seorang dokter, walaupun dokter umum, satu hal yang saya ketahui
bahwa pribadi muslim diberikan akal dan pikiran pertama kali yang
dilakukannya adalah MEYAKINI AYAT-AYAT ALLAH dan RASULNYA. Selanjutnya
baru kewajiban untuk mengkaji dan telaah.
Saya dan barisan orangtua kontra vaksin kimia telah memilih ASI
sebagai vaksin alami, karena kami meyakini QS. AL BAqarah : 233 dan dari
ayat tersebut kami kaji lebih jauh. Saya pribadi membutuhkan waktu 7
tahun untuk meyakini bahwa inilah maksud dari ayat Allah subhanahu wa
ta’ala itu, bahwa ASI adalah VAKSIN ALAMI bagi setiap anak manusia yang
lahir di muka bumi.
Bukti ilmiahnya apa? Silakan membaca pada link dibawah ini, bahwa dr
Albert Sabin pada awal merintis percobaan vaksin polio – beliau
menggunakan kolostrum manusia dan sapi sebagai obat. Jurnal ini
menunjukkan bahwa hewan yang terinfeksi oleh polio, 84% sembuh dengan
pemberian kolostrum.
Pada bagian akhir penulis menyampaikan, “Silahkan menilai dan menjawab sendiri yaaaa”
Maka saya menjawab, “Betul sekali. Mari silakan menilai, megkaji dan
menjawab sendiri. Kebenaran hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala
semata dan kelemahan adalah dalam diri saya sebagai penulis. BELAJAR dan
DO’A untuk mendapatkan cahaya kebenaran. Semoga ayah bunda tidak
membutuhkan waktu selama 7 tahun seperti saya dalam meyakini kebenaran
tersebut.”
Sekali lagi bukanlah sekedar halal/haram semata namun bahan kimia
didalam vaksin tersebutlah yang mendorong kami untuk mengatakan dengan
lantang “NO TO VACCINE”.
sumber
http://drhennyzainal.wordpress.com/2011/10/17/jawaban-terhadap-uraian-vaksinasi-pertama-kali-olh-dokter-muslim/