P e n d a p
Sudah
hampir sepekan Emak terlihat berbeda. Kuperhatikan gerak-gerik Emak sepertinya
ada yang sedang beliau pikirkan. Namun aku tak berani banyak bertanya dulu.
Mungkin belum saatnya Emak memberitahukan kepadaku. Aku yakin esok lusa Emak akan ceria kembali.
Kami
berdua sama-sama janda, ditinggal meninggal suami. Emak hanya punya dua orang
anak. Satu orang laki-laki abang aku.dan aku, anak bungsunya. Bak meninggal
kejadiannya hampir sama dengan suamiku. Mereka meninggal ketika melaut di
pantai Zakat . entahlah, aku kadang merasa Bak dan suamiku sangat berjodoh
karena meninggal pun mereka di hari yang sama pada peristiwa yang sama pula,
hehehe. Aku sekarang sudah bisa tersenyum jika menceritakan tentang
meninggalnya mereka berdua. Karena waktu sudah berlalu, sedih itu sudah mulai
terlarut, meski sepi tak pernah bisa terobati.
Kenapa
tersenyum, ya karena mereka akan saling menemani dan menguatkan bersama. Bak
dan suamiku. Untuk membiayai kehidupan kami yang berempat. Alhamdulillah aku punya
sepasang anak yang sudah sekolah di SMP dan SD. Sehari-hari aku dan emak
membuat Pendap. Itu loh, kuliner khas
Bengkulu yang mirip dengan masakan Pepes ikan. Terbuat dari daun Tembahang atau
sering disebut juga daun Keladi. Rasanya agak pedas dan gurih. Pendap itu
masakan serupa Pepes yang dikukus. Harga satu bungkus Pendap berkisar antara
tujuh hingga sepuluh ribu rupiah. Tergantung besar kecilnya. Namun ada juga
Pendap dengan ukuran kecil dijual senilai sepuluh ribu perbungkus. Biasanya itu
tergantung dengan besar kecil dan jenis ikan yang dipakai.
Usaha
Emak membuat Pendap ini hampir lima tahun lebih tua dari usiaku. Tahun ini
usiaku menjelang 35 tahun, alhamdulillah usaha Emak berjalan lanjar dan
baik-baik saja. Walau kadang ada juga masa seretnya, ya biasalah dalam hukum
orang berwirausaha. Kadang maju, kadang mundur. Namun badai selalu dapat kami
lewati. Aku semenjak ditinggal suami, tak pernah berniat untuk menikah lagi. Ya,
meniru Emak, hehehe. Meski hanya berjualan Pendap, alhamdulillah emak sudah
pernah menunaikan ibadah haji. Di depan rumah kami juga sudah membuka usaha
warung manisan, yang hasil penjualannya lumayan untuk membiayai sekolah
anak-anak dan tambahan penghasilan kami. Untuk penjual pendap, nama Emak boleh
dibilang nama sudah sangat tersohor di
lingkungan Pasar Bengkulu ini. Terkadang pembeli datang darimana-mana. Setiap
hari ada sekitar dua puluh orang Ibu-ibu penjual gulai keliling yang juga
menjualkan Pendap kami. Rata-rata mereka membawa sekitar 5-10 bungkus Pendap
untuk dijajakan kepada pelanggan mereka. Bnayak juga yang memang sudah menjadi
pesanan orang.
Semua itu berkat Pendap, Emak memang tak
pernah merubah cara memasak maupun adonan jualannya. Meski marak bahan pengawet
untuk membuat masakan , Emak tak pernah goyah untuk menggunakannya. Lalu, untuk
mengurangi bumbu, di pasar juga banyak tersedia bumbu siap saji dan siap pakai.
Bahkan ada yang langsung diracik ditempat. Sekali lagi Emak tak pernah
menggunakan pelayanan tersebut, biarlah sedikit lebih susah dan capek karena semua diurus sendiri.
“Biarlah
Ma, Emak agak litak membersihkan,
menggiling bumbu-bumbu itu, daripada digiling di pasar. Kito idak tau cak mano prosesnya. Kalu ini kito
tau nian cak mano prosesnyo, kurang lebihnyo”
Aku
cuma mengangguk setuju, lagipula di rumah kami juga ada yang membantu. Jadi pekerjaan
emak agak sedikit ringan.
Minggu
depan pesanan Pendap Emak lumayan banyak. Ada tiga keluarga yang menggunakan Pendap sebagai menu resepsi pernikahan anaknya. Di daerah
Sawah Lebar, Pintu Batu dan Pondok Besi. Memang sekarang Pendap, tidak hanya disajikan
untuk makanan keluarga. Namun sudah dihidangkan di acara resmi di berbagai acara. Acara jamuan
di rumah gubernuran dan pemerintahan pun sering pesan Pendap emak. Bahkan di
restoran juga disajikan, mereka sudah menjadi langganan tetap emak.
Hari
hampir menjelang jam tiga sore, cik Zubedah
dan Rodia datang mengantarkan daun Tembahang, itu daun bahan utama untuk
membuat Pendap. Bentuknya serupa daun keladi atau talas. Tembahang dan keladi
sama persis, aku saja yang sudah berpuluh tahun bergelut dengan daun itu belum
bisa membedakannya. Menurut Cik Rodia yang membedakannya hanya kalau umbi talas
atau keladi bisa dimakan orang dan daunnya juga enak digulai kalau Tembahang
tidak.
“dakdo orang makan umbi Tembahang tuh Salma, lebih gatal
dari keladi, mabuk katonyo!” celoteh
cik Rodia petang itu
Kami
sedikitnya punya sepuluh orang yang memasok daun Tembahang. Setiap hari selalu
ada yang mengantarkan daun itu ke rumah. Mereka menjualnya perkilo kepada kami.
yang diambil dari pohon tanaman Tembahang
ini hanya daunnya saja, sedikitpun batangnya tak ada. Biasanya mereka memetik
daunnya langsung dengan tangan atau bisa juga memakai lading kecil. Rata-rata perorang bisa menghasilkan sekitar 2-3 kilo
daun perhari.
Lalu
ada juga Dang Burhan, Wak Jeli, Uncu Lino yang mengantarkan ikan Capa, ikan
Aso-aso tidak banyak yang memasok karena bahan baku tersebut lumayan tersedia
banyak dari laut. Hanya berjarak sekitar kurang dua kilo meter dari rumah kami. Ikan yang
didapat juga sangat segar karena langsung diambil dari kapal nelayan yang baru
pulang melaut.. Begitu perahu merapat dan pukek
mendarek, nelayan langsung mengumpulkan ikan terus dibawa ke tempat
pelelangan ikan (TPI) di salurkan kepada pengempul , pedagang, pedagang
pengampas ikan atau sisanya dijual sendiri di pinggir pantai. Ikannya segar
sekali dan rasanya manis. Jauh dari bau formalin dan rasa es beku yang biasa
kebanyakkan ikan yang dijual. Keempat jenis ikan itu bisa didapat setiap hari,
meski jumlahnya bervariasi.
Semua
ikan itu bisa dipakai untuk bahan Pendap. Kalu aku paling suka makan Pendap
dengan isi ikan Aso-aso. Ya, kalo makan
ikannya bisa serasa makan ayam, bisa
juga serasa makan daging atau hanya sekedar serasa makan tahu dan tempe,
hahaha. Makanya ikannya diberi nama ikan aso-aso karena rasa
dagingnya bisa berubah-ubah sesuai dengan selera yang makan, hahaha. Ada-ada
aja!
Ikan
yang segar itu setelah dicuci bersih hanya diberi garam, lalu didiamkan saja di
dalam nampan selama semalam di dapur. Ini salah satu langkah untuk permentasi
ikan secara alami. Tak perlu memberi campuran bahan lain. Apalagi dibiarkan
berhari-hari agar ikan menjadi busuk. Selama jualan Pendap kami tak pernah
memakai ikan busuk seperti kebanyakkan orang jual. Ikan yang dipakai tetaplah
segar dan terjamin mutunya.
Angin,
pantai Zakat yang hanya berjarak sekita dua kilo dari dapur, berhembus sejuk.
Sesekali terdengar dentuman ombak dari laut. Emak memandangi aku lama sekali,
sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan. Menunggu waktu yang pas mungkin,
pikirku. Aku seolah memberi isyarat kepada emak untuk beranjak duduk di beranda
samping rumah saja.
“Salma,
cubo kau tenggok kerjo orang banyak ko
kini. La ndak jam tigo petang. Belum ado nang ngantarkan daun Tembahang ke siko!” Emak mendesah
“memang
kini kecek Rodiah la payah mencari
daun tembahang tuh, kalu cak iko
terus bisa mati usaha kito kelak
Salma, apo kelanjutan hidup kito ko”
Aku
mendekat duduk pas di sebelah Emak,
memandang wajah wanita penuh perjuangan ini dengan seksama. Oh, ini yang
menjadi tanda tanya aku beberapa hari ini, pasal daun Tembahang.
“Emak,
la ndak masuk Asar. Habis sembayang kelak, kito pai sebentar yo. Cari
angin senjo siapo tau ado solusi.”
Aku
beranjak ,sembari sepoi-sepoi angin membawa suara azan, kami bergegas memenuhi
panggilan itu. Dalam salat aku berdoa, semoga kami menemukan solusi dari
masalah yang dikuatirkan Emak.
Dengan
kuda besi metik, aku mengajak Emak pelesiran
petang ini. Sengaja aku memulai perjalanan dari pantai Zakat. Jalan merentas di
belakang sekolah, kami turun sebentar. Aku mengajak Emak menepi. Tampak Emak
memandang sekeliling dengan mata berpendar-pendar. Rawa yang hampir membanjir
di sepanjang jalan ini mulai ditumbuhi banyak rumah-rumah. Entah untuk tempat
tinggal atau untuk bisnis rumah makan atau tempat menjual hasil olahan ikan,
hasil laut dan lain sebagainya.
“mana,
tempek kau galak merenca di rawa ko dulu
Salma ngambik daun Tembahang. Emak la
idak ciren lagi. La berubah galo”
Aku
menggeleng tertunduk , tak ingin mencoba menjawab pertanyaan Emak.. Berharap
emak bisa menilai dan sejenak berpikir.
Kami
melanjutkan perjalanan melewati daerah Kampung Kelawi terus melewati jembatan
Pasar Bengkulu menuju daerah Rawa Makmur. Tidak begitu jauh dari jembatan aku
kembali mengajak Emak menepi. Kali ini Emak tercenung kembali. Kutebak, pasti
dia akan mempertanyakan hal yang sama dengan keadaan pantai Zakat tadi.
“
ya, Allah Salma, la jadi ruko kek
rumah galo di sepanjang jalan ko kini.
Bagian belakangnyo jugo la
penuh kek bangunan rumah. La canggih nian orang kini la biso merubah rawa ko. “
Lalu
aku memutar motor kembali melewati jembatan Pasar Bengkulu lurus ke arah
Kampung Bali, sampai di lampu merah. Aku banting stir langsung belok ke kiri,
melalui jalan Sukamerindu. Lurus melaju terus belok kiri menuju daerah Tanjung
Jaya.
“
ndak kemano lagi kito ko Salma?”
“kito ke Tanjung Jaya Mak, sampai kek danau
Dendam Tak Sudah, sebentar ajo.”
Sampai
di Tanjung Jaya, kembali aku menepi. Kali ini Emak agak tersenyum.
“
nah, masih ado sawah kek rawa Tembahang di siko dak Salma. Tapi Alangkah jauhnyo
tobo Rodiah mencari sampai ke siko.”
Aku
mengajak Emak, duduk di sebuah warung di pinggir jalan. Lokasi warung ini
seolah berada di atas rumah mereka. Iya, sejak berkali-kali terjadi banjir
besar dan memutuskan jalur transportasi . Pemda provinsi Bengkulu akhirnya
membangun jalan yang lumayan tinggi, seperti jembatan yang panjang. Bahkan ada
yang bilang ini jalan tolnya Bengkulu. Iya tinggi jembatan ini hampir sama
dengan tinggi rumah masyarakat disekitarnya. Hal ini dilakukan untuk
menghindari banjir. Penduduk di sepanjang jalan ini sudah sebagian besar
merubah rumah mereka menjadi bertingkat.
Kami duduk sebentar di warung sambil mengamati
sekeliling . Emak terjebak ngobrol
dengan pemilik warung. Seru sekali!
“iyo
Cik, kalo hujan penuh kek air sawah dan rawa ko, daun Tembahang
terendam. Idak pulo orang berani ngambiknyo
kalo bukan pas hari la surut. Batang Tembahang kadang la busuk pulo”
Emak
mengangguk-angguk, entah apa yang dia pikirkan. Aku Cuma berharap ada
pencerahan .Emak mulai paham dan mengerti kondisi yang terjadi sekarang . Matahari
mulai meredup, siluet unggu hampir mengenai muka kami, sebentar lagi sudah mau
masuk akhir batas sholat asar, kami bergegas.
Melewati
jalur kiri kanan jalan danau Dendam Tak Sudah, sengaja aku tak menepi. Cukuplah
Emak melihat keadaannya sepanjang jalan ini. Jalan yang dulu diapit dengan sawah
dan rawa ini mulai berubah menjadi beton tak bertuan. Entah mau diapakan oleh
mereka kawasan ini. Mungkin mau dikelolah untuk menjadi kawasan wisata.
Mengingat eloknya pemandangan danau. Padahal air danau inilah yang menjadi
salah satu sumber perairan dari sawah-sawah yang ada di sekitar sini. Danau
ini juga yang menjadi sumber penampungan
air di daerah sekitarnya.
Orang-orang
lebih suka menukar sawah mereka dengan bangunan, dengan alasan selain bisa
dipakai sendiri untuk tempat tinggal, berdagang , bisa juga disewakan atau
dikontrakkan dengan orang lain. Tak perlu lagi bersusah payah, apalagi
berbecek-becek untuk menggarap sawah. Jika bersawah. Hasilnya juga belum bisa
diprediksi bagus setiap saat. Apalagi sawah yang terletak langsung di bibir
jalan hampir semua sudah beralih fungsi. Sudah mereka tukar tambah atau bangun
bagi. Lumayan juga alasan mereka , hanya dengan menyediakan lahan, kita
dibangunkan salah satu ruko tanpa keluar
uang, malah dapat uang lagi. Siapa yang tidak berminat, jadi sungguh malang
nasib engkau wahai daun Tembahang.
Alhamdulillah
magrib belum datang , kami sudah sampai di rumah. Sempat aku cek ke dapur,
terlihat ada seberonang kecil Tembahang,
cukuplah untuk jualan esok. Setelah mengaji dan mengawasi anakku belajar, aku
mencoba mencari informasi di internet. Siapa tau ada informasi baru.
Ini
adalah hari ke dua menjelang pesanan banyak Emak, daun Tembahang belum
terkumpul. Dua pernikahan ini, lumayan untuk pemasukkan emak. Namun sampai hari
ini daun Tembahang baru sedikit terkumpul. Jika dibuat paling bisa untuk
memenuhi orderan satu hajatan pesta saja. Bagaimana Emak sudah terlanjur memenuhi
pesanan tersebut. Kalau mau di tolak. Kasihan wali hajat. Belum lagi satu keluarga yang mau pesan untuk
hajatan Aqikah. Mereka pasti pusing juga mencari alternatifnya. Ini juga bisa
membuat kepercayan orang terhadap Emak menurun.
Emak
bolak-balik ke dapur, berkali-kali juga telponan dengan tobo cik Rodiah, hari la menjelang jam tiga sore. “belum ada
solusi. Untuk pesta hari ahad ko ,
paling idak sabtu pagi bahan la siap galo.” Suara Emak lebih mirip dengan
keluhan. Aku terdiam di sudut kamar,
sayup terdengar suara Emak.
Malam
makan kali ini, emak hanya menyebtuh sedikit saja nasi. Lebih banyak berdiam
dan mengganjal perut lapar itu dengan sepotong kue dan kopi yang tak hangat
lagi. Acara televisi yang biasanya mampu membuat emak terkekeh tak dihiraukan.
Emak duduk saja seolah menonton namun pikirannya menerawang. Sesekali
anak-anakku melibatkan neneknya untuk berbicara, namun tak juga digubris.
Dijawab pun hanya sekedarnya saja. Emak masih kalut pikirannya, itu yang bisa
aku tebak.
#############
Aku
agak sibuk di dapur sendiri, sebentar lagi Pendap masak. Aku sedikit berlari
sendiri menyelesaikan tugas masak ini seolah sudah ditunggu ratusan orang yang
antre untuk makan. Waktu terasa seperti petir, cepat datang cepat menghilang.
Capek
tak bisa kuukir, ingin segera pulang menemui Emak. Jalanan terasa macet
seketika. Namun alhamdulillah sebelum Magrib mampir, aku sudah sampai di rumah.
Napasku
masih tersenggal. ...
“Emak,
dak usahlah lagi pusing mikirkan
bahan untuk Pendap pesanan orang hari ahad ko
kelak”
Emak,
menoleh sekejap, “ Ngapo Salma, kau
la ketemu solusinyo!” Lalu Emak duduk
di depanku sambil menunggu reaksiku.
“Itulah
kau pai menghilang tadi, kemano ajo. Pergi dak ngecek, Emak pikir masih di dapur tadi “
Aku
tersenyum, “ Tadi aku pai ke rumah
orang hajatan tuh Mak, mereka setuju dengan penawaran yang aku sampaikan. Cakmano lagi Mak, bahan lagi susah
didapatkan. Kito harus nyari solusi
biar tetap bisa jualan. Biar pesanan terus datang dan pelanggan idak kecewa” Emak menatapku bingung
lalu tak berapa lama tersenyum manis, ya wajah itu setidaknya menjadi
kekuatanku untuk yakin melangkah. Senyum itu pertanda restu Emak.
Kusampaikan
dengan Emak, bahwa tadi aku menemui tuan rumah yang mau hajatan tersebut sambil
membawa contoh pendap racikakanku yang terbaru. Bahan Pendap yang selama ini
selalu menggunakan bahan baku daun Tembahang, sudah aku ganti dengan
menggunakan bahan baku daun singkong dan pepaya. Hasilnya setelah mereka
menyicipi Pendap hasil buatanku tadi, mereka sepakat memakai ke dua bahan
tersebut. Bahkan mereka juga memberikan masukakn. Ini akan menjadi salah satu
pilihan orang. Bagi yang tidak berani makan daun Tembahang, tentu akan memilih
daun singkong yang lebih banyak disukai semua orang atau daun pepaya yang juga
tak kalah sedapnya. Harga yang kutawarkan kepada mereka pun agak sedikit lebih
murah dan aku memberikan mereka bonus. Anggaplah sebagai bagian dari promosi.
Bahan dan cara membuatnya sama persis dengan cara membuat Pendap dengan bahan
baku daun Tembahang. Cuma diganti dengan bahan baku daun singkong dan pepaya.
“Emak,
cakmano kalo tanah kito yang di daerah Bentiring itu kito tanam daun Tembahang ajo. Biar biso kito panen daunnyo untuk
Pendap. Kelak biar Salma ajo yang ngambik daunnyo. Dak usah tobo
cik Rodia. Kalak dipinggirnyo biso kito
tanam daun ubi kek pepaya jugo.”
Emak
mengangguk dan memelukku. Hangat sekali, sehangat kasih sayang ibu yang selalu
menyinari dalam hidupku. Emak sudah tak murung lagi sekarang. Aku berucap
Alhamdulillah....
Memang
dalam berdagang diperlukan juga kreatifitas apalagi jika bahan bakunya
bersumber dari alam, bisa habis seketika karena kebutuhan manusia. Mungkin
suatu saat nanti makanan Pendap ini hanya akan tinggal nama dan dikenang sebagian
orang yang pernah sempat mencicipinya karena
lahan tempat tumbuh dan hidupnya sudah berganti dengan rumah dan pertokoan.
(Diawal langkah baru, 2013)
Glossarium
Cakmano
Biso
Kek
Jugo
Cik
Ajo