FLP
Bengkulu
Rejang Bei’kuak Serawai
A’ngit
Milda
Ini
Kisah yang
akan aku ceritakan kali adalah mengenai suku Rejang . Salah satu
suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu.Yang merupakan suku
mayoritas yang tinggal di daerah Bengkulu. Suku Rejang menyebar sampai ke
daerah Lebong, Kepahiang , Curup dan sampai di tepi sungai Ulu Musi berbatasan
dengan Sumatera Selatan. Suku Rejang
terbanyak menempati
,kabupaten
Rejang Lebong, Kepahiang dan Kabupaten Lebong. Bila kita lihat dari dialek
bahasa yang digunakan penutur bahasa Rejang, sangat jelas perbedaan antara bahasa
Melayu dan bahasa daerah di Sumatera lainnya. Suku Rejang merupakan salah satu
dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia.
Kemudian aku juga akan menceritakan
tentang suku kedua terbesar di Bengkulu yaitu Suku Serawai. Mereka Sebagian
besar berdiam di kabupaten Bengkulu
Selatan yakni di kecamatan Sukaraja,
Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim.Saat ini banyak dari mereka
yang seperti ke Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten
Bengkulu Utara, dan sebagainya.
Suku Rejang pada awalnya memang
sangat primitif sehingga sulit untuk menerima masukan dan pengaruh dari luar.Hal
ini membuat perkembangan masyarakat suku Rejang sulit berkembang.Namun lambat
laun, mereka akhirnya juga berbaur dan bisa
mengalami perkembangan.Ada yang menjadi Pejabat teras, Guru, Dosen,
Dokter dan profesi lainnya.Merekapun semakin banyak yang muncul di ranah publik.
Kedua suku tersebut telah berkembang
dan mengisi berbagai lini kehidupan Provinsi Bengkulu.Mulai dari pemerintahan, politik,
ekonomi dan sosial budaya.Mereka sudah banyak memberikan sumbangan pikiran dan
tenaga untuk memajukan Bengkulu yang juga biasa di sapa Bumi Rafflesia.Banyak
juga keturunan kedua suku tersebut yang memiliki berbagai prestasi, baik
tingkat lokal, nasional bahkan internasional.Namun ceritaku kali ini bukan akan
membicarakan tentang kesuksesan kedua suku tersebut,Tapi mengenai pernikahan
Raifah dan Sebong yang selalu ditunda karena adat-istiadat dan mitos kedua suku
tersebut. Raifah si Serawai dan Sebong si Rejang. Sekarang bukan saja ditunda
bahkan terancam gagal untuk dilaksanakan.Berikut akan ku gulirkan cerita ini
kepada engkau.
Ini adalah kali kedua di seperempat
tahun ini, Raifah kembali membicarakan
keinginannya untuk menikah.Walau kemungkinan jawaban dari Bak dan Mak sudah
bisa ditebak,namun Raifah belum putus asa.Sungguh Raifah mau menikah dan mau
menikahnya hanya dengan calon pilihanya.Bukan orang lain.Siapa tahu kali ini
mereka luluh mendengar permohonanku.Sudah berhari Raifah melakukan puasa untuk
memendam rasa ini, Raifah takut tergelincir dalam lobang zina dan dosa.
Mereka sedang asik ngobrol, disela
pembicaraan itu. Raifah mencoba untuk bertanya tentang sesuatu yang sudah lama
Raifah pendam. Semoga kali ini ada titik terang.
“Amun tengah
tahun ini aku nikah, lukmano Bak ?”
Tatapanku mengujam kearah Emak memohon
dukungan.
Tidak ada jawaban dari mereka, aku menelan ludah
getir.Sepertinya ini bukan waktu yang tepat.Ya,ujung bulan.Buntu karena
persedian uang habis membuat pikiran jadi suntuk, sedangkan masa gajian masih
seminggu lagi. Uh, kok aku yang kena
imbasnya! Aku hampir berdiri, hendak masuk kamar. Merasa perkataanku tadi
sangat sulit untuk dijawab sekarang.
“Nga sapo?Apo
masia nga bujang Rejang tu?”
Aku menyurut ke sumber suara dan terperanjat. Terdengar
tinggi suara Bak. Aku diam dan
mengangguk
“Amun kaba ndak nikah bukan nga lanang itu, kami restui. Bulan depanpun jadi kita pestakan!”
Ah, jawaban
yang sama untuk kesekiankalinya.Sudah
bisa dijengkali, namun apa daya. Aku ingin menikah dan tidak mungkin hanya karena
dia suku Rejang aku membatalkan niat menikah ini. Bukankah Rasulullah berkata, Jika
datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka
nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima (lamaran)-nya niscaya
terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas. Aku
takut terkena malapetaka dengan menolak pinangan itu. Menolak seseorang yang
baik.
Memang aku sudah pernah
membicarakan hal ini dengan mereka pada waktu
Semendau meminta persetujuan
Bak dan Emak untuk menikah. Padahal itu hanya berasan awal. Aku dan calon suamiku masing-masing meminta
persetujuan orang tua kami sebelum akhirnya dilakukan Rasan
Semendau Nidau Belapik Emas karena acara pesta perkawinanya akan
dilaksanakan di rumahku, mempelai wanita
############################################
############################################
Adalah Sebong Sinarok
calon suamiku adalah seorang keturunan Rejang, kedua orang
tuanya memang asli keturunan Rejang dan tinggal di daerah Lebong. Namanya
memang unik yang artinya anak laki-laki yang diharapkan. Mereka adalah keluarga
petani yang sukses, sehingga bisa menyekolahkan Sebong hingga Pasca Sarjana. Sekarang Sebong bekerja satu kantor denganku, cuma beda
ruangan saja. Kami tidak berpacaran, seperti kebanyakan pasangan lainnya. Kami
hanya saling sapa dan mengenal lewat jalur kerjaan dan kantor. Setelah kelar Tesisnya Sebong melamarku. Dia lelaki yang soleh dan
berkepribadian yang baik. Mapan dan tidak merokok. Sholat tak pernah tercecer. Banyak
rekan sekantorku yang menginginkan Sebong untuk dijadikan suami atau menantu.Tapi Sebong memilih aku.Dengan pertimbangan yang matang
akhirnya kuputuskan untuk menerima tawaran Sebong untuk menikah.Lantas kami menemui orang tua
kami masing-masing. Bersama teman satu ruangan aku berkenalan dengan keluarga Sebong di Lebong. Semua berjalan lancar dan mereka
menerima kehadiranku. Namun tiba giliran aku yang menyampaikan dan mengajak Sebong untuk mengenal keluargaku. Sandungan itu
hadir, tanpa kami kira. Bak yang awalnya sangat semangat dengan Sebong mendadak sakit gigi ketika Sebong menceritakan garis keturunannya. Sebong menyebut dirinya adalah Tunjang asli. Ini bukan
lontong tunjang ya yang biasa dijual
tapi, tun dan Rejang yang disingkat tunjang yang artinya orang Rejang.
“Hah,jemo Rejang? “ Mulut Bak seketika
mengangga kaget
“Asoku nido aku restui hubungan kalian ni, Aku nido agam dengan jemo
Rejang......” Bak meninggalkan ruang tamu tanpa penjelasan apapun kepada kami.
Aku melirik kepada Mak yang duduk di sudut ruangan. Berharap Mak bisa menjelaskan
apa yang menjadi alasan Bak tidak merestui keinginan kami.
Wajah Sebong pucat, ia
memainkan jemarinya memompa kegalauan dan kecewa. Sebong ditolak mentah-mentah.
Ucapan Bak barusan meninggalkan sesak dalam dada Sebong.
“Apa Mak alasan
Bak menolak aku? Aku jadi bingung.
Apakah aku telah melakukan kesalahan.
Apa ada tutur kataku yang khilaf?”
“Bak memang idak senang
dengan Tunjang Bong!”
“Ngapo?”
“Cerita masa lalu nenek poyang dulu, sulit untuk disampaikan!”
“Cerita masa lalu nenek poyang dulu, sulit untuk disampaikan!”
“Pelah Mak, jangan buat kami penasaran. Kami siap mendengarkan !”
suaraku lirih.
“Yuliar!” terdengar
lengkingan Bak dari dalam kamar. Mak bergegas mendatangi suara itu, takut
terdengar ocehan yang disertai omelan.
“Lain kali saja Bong.Pulanglah
dulu!”
Kami saling
berpandangan bingung.Akhirnya aku menyarankan Sebong untuk pulang.Setelah
menunggu hampir seperempat jam.
“Kita berdo’a saja
semoga Allah SWT membuka pintu hati Bak. Niat kita kan baik, semoga ada
kemudahan. Sebaiknya hal ini bisa kita pikirkan dan renungkan dulu sembari bermuhasabah.” Sebong pamit
##############
Dua hari sudah berlalu,
aku tidak berani lagi menanyakan hal itu kepada Bak dan Mak. Terlihat gusar di
wajah Mak.Dengan wanita terkasih itu aku sudah bercerita banyak tentang sosok
Sebong, Mak setuju dan sangat memuji
akan Sebong.Tetapi Bak setelah kejadian itu belum ada menyinggung hal itu lagi. Kamipun seperti
sangat sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, tak ada waktu untuk ngobrol seperti
yang biasa kami lakukan. Paling sering di sore hari menjelang senja, duduk
bercerita di beranda sembari menunggu Maghrib. Biasanya selalu ada yang kami
perbincangkan, mulai dari hal yang serius atau hanya sekedar senda gurau. Bak
belakangan ini lebih sering berdiam di kamar. Bak sepertinya menghindar dariku.
##############
Aku dan Sebong sudah sepakat untuk lost contact dan tidak berdiskusi tentang pernikahan dulu,
sampai waktunya tepat. Aku memutuskan untuk berlibur ke rumah nenek di Seluma.
Dengan motor sekitar empat puluh menit
aku tiba di rumah nenek. Dusun Semidang
Alas ,Seluma. Iya secara garis keturunan Nenek masih ada hubungan dengan Serunting
Sakti Poyang Suku Serawai yang berputera
tujuh orang, salah satunya Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang
sekarang termasuk marga Semidang Alas, Bengkulu Selatan. Serampu Sakti
mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti
dengan anak-anaknya inilah dianggap
sebagai cikal - bakal suku Serawai yang tersebar di Bengkulu dan daerah lainnya.
“Nek, Bak belum jugo
merestui keinginan aku untuk nikah, kapan lagi Nek. Umur aku lah cukup.
Tolonglah Nek kasih pengertian dengan Bak!” lirih suaraku, mengiringi obrolan
selepas Isya.
Nenek hanya
berbaring lesu di pembaringan. Aku mengelus lembut kaki Nenek yang penuh
keriput. Nenek sudah renta, namun masih kuat. Adat dusun dan tradisi lama yang
membuat Nenek sehat. Makanan segar dan pengolahan yang jauh dari cara
pengawetan, membuat Nenek masih bisa bertahan meski sudah tua Bangka. Semenit
berikut.
“La mantap nian niat kaba Raifah? “
“Nyelah Nek,
aku takut dengan dosa kalau menunda terus!”
“Amun Nenek
setuju karno zaman sekaranglah maju , banyak informasi. Ngapo pulo dihalangi anak punyo
niat baik dan Sebong itu jugo jelas
keberadaannya. Belum tentu bisa dapat yang lain seperti Sebong. Tapi Bak kaba memang keras kepala, sulit untuk
dibantah.”
“Jadi apo
alasan Bak, Nek. Kalau sekiro bakal
merugikan dan mendatangkan kemungkaran dengan adanya pernikahan ini, kami siap
membatalkan. Tapi ‘nggut hari ini Bak
belum ndak bebagi tahu. Akulah stress Nek memikirkan hal ini, Nido ado
alasan aku ndak menolak Sebong itu.”
Nenek manggut- manggut. Aku tak paham, apa maksudnya.
Menanti penjelasan Nenek bagai menunggu seribu tahun.
“Bak kaba meraso tesinggung nian dengan ulah jemo Rejang itu. Orang Rejang telah
mempermalukan Nenek moyang Serawai.”
“Tesinggung , malu... dalam urusan apo Nek?”
“Hah, masih diingat dan diperdebatkan sampai sekarang Nek?”
Nenek menganguk.......
“Tapi masalahnyo
apo Nek, Bak belum becerito!”
“Bacalah Surat Ulu ini..” Nenek
menyerahkan kertas yang bertuliskan seperti huruf
Kaganga.
Aku menggeleng dan bingung, bagaimana cara membacanya ya !
“Di situ tetulis, tu apo nyo jadi
alasan Bak kaba ndak nolak Sebong ..”Akhirnya nenek menceritakan
semuanya kepadaku, Aku tidak bisa membaca aksara kaganga tersebut, ada rasa
geli mendengarkan cerita Nenek. Namun aku tidak bisa memaksa orang untuk
memahami semua cerita itu.Penilaian orang pasti berbeda terutama Bak yang masih
memegang prinsip itu. Aku mulai mengerti sekarang.
########
Aku memberanikan diri menghadap Bak lagi.Walau ,
keputusannya tidak tapi aku ingin Bak memahami sesuatu yang seharusnya. Ajaran
islam tidak mengajarkan dendam kesumat tanpa kesudahan seperti yang Bak
berlakukan sekarang.
“Bak...” Aku duduk persis di sebelahnya. Bak dingin. Aku menyapanya sekali lagi.
“Apo Bak
belum bisa merestui keinginan Raifah menikah dengan Sebong?” Hati-hati aku
lontarkan kalimat itu, takut Bak marah.
“Aku sudah tahu alasan Bak tidak mau menerima Tunjang!
Nenek sudah menceritakan sebab musababnyo“
Bak terperanjat, namun seketika kembali acuh
“Amun luk
itu, ngapo kini kaba betanyo agi. Segalonyo la jelas! Jangan diributkan lagi,
dalaklah jemo lain bae batan calon kaba,
bukan jemo
tunjang.”
Aku merangkul Bak, lelaki yang ditakdirkan sebagai
Ayahku ini memang keras.Aku tak ingin Bak tersesat dalam pikiran sempitnya.
“Iyo Bak, apo kalo aku menikah dengan orang lain
akan mendapatkan sosok yang baik atau lebih dari Sebong. Allah saja menilai
hambaNya dari akhlaknya bukan dari keturunannya. Tidak baik menilai seseorang hanya dari
keturunannya saja.Mungkin memang Sebong jodoh Raifah. Suku yang sama belum
tentu menjamin kehidupan kita akan membaik. Banyak orang tunjang yang sukses dan baik Bak. Tapi kalau memang tidak bisa
merestui biarlah aku menunda dulu keinginan menikah sampai Bak ketemu dengan
orang Serawai yang tepat untuk Raifah.”
“Laju...?” sahut Bak
“Maso Bak
mendendam, mengorbankan aku dalam persoalan malu masa lalu itu! Apo Bak tidak ingin Raifah Bahagia.”
“Lum pacak
kini Fah? Bak masih perlu bepikir agi!”
“Raifah nunggu jodoh
dari Bak , biarlah lama asal Bak senang dan merestui!”
Bak hanya terdiam, suasana yang paling aku sesali.
Saling berdiam diri diantara orang-orang yang kita kenali. Aku tak ingin
membahas dan larut dalam masalah pernikahan aku dan Sebong. Aku ingin
memikirkan dan melakukan hal yang lain. Bukankah tadzim dengan orang tua juga merupakan kewajiban anak dan berpahala
besar.
##############
Di kamar Raifah memeriksa kembali Surat Ulu yang
diberikan nenek, tertulis di sana sebuah kisah masa lampau. Rejang yang telah
mempermalukan suku Serawai, kisah itu dimulai pada saat bujang suku Rejang datang
bertamu ke rumah seorang gadis Serawai.Saat itu ada yang melihat kalau bujang
Rejang tersebut memiliki ekor
dibuntutnya ,si gadis tidak percaya akan informasi yang disampaikan temannya. Hal
itu sudah ditanyakan langsung oleh si gadis kepada si bujang, namun si bujang
tak mau mengaku. Si gadis lantas merangkai akal. Jadi pada malam berikutnya
ketika si bujang bertandang ke rumah si gadis. Waktu itu rumah orang Bengkulu
berbentuk panggung dan lantainya terbuat dari susunan bambu yang berjejer. Pada
susunan tersebut terdapat celah yang lumayan besar. Si bujang duduk di salah
satu lantai dengan menggunakan kain sarung. Jadi dari bawah terlihatlah ekor si
bujang, oleh teman yang melaporkan tadi ekor bujang tadi dibakarnya dengan obor
sehingga tercium bau a’ngit seperti
bau daging atau kulit yang tebakar. Gerombolan pemuda yang di bawah tadi
tertawa-tawa sambil berteriak dasar si Rejang bei’kuak dan Serawai a’ingit.Sejak
saat itu dua suku yang menetap di Bengkulu perang dingin, mereka tidak ada yang
saling menyapa apalagi menikah. Gadis Serawai tadi sangat malu dan sangat
terhina dengan perlakukan teman-temannya dan tidak mau menerima si bujang
Rejang karena merasa tidak jujur dengan ekor yang dia punya. Bujang Rejang
telah berbohong dan mempermalukan si gadis Serawai.
########
Itu
hanya sepenggal ceritaku, tentang Suku Serawai dan Rejang, Namun sekarang sudah
banyak mereka yang menikah dan membina keluarga. Banyak yang sukses dan berjaya.
Tapi masih ada juga yang memegang kuat cerita tersebut.Raifah sekarang masih
menunggu keputusan Bak untuk merestui pernikahannya dengan Sebong.Dalam do’a
santun penuh pengharapan kepada-Nya untuk meluluhkan hati Bak.
(Ujung Februari 2011 teruntuk
Civitas Akper Curup, Rejang Lebong Bengkulu)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Glosarrium
Luk mano :
Bagaimana
Nga sapo apo masia :
Dengan siapa, apa masih
Amun kaba ndak :
Kalau kamu mau
Semendau : Pasangan yang
ingin menikah keduanya sama-sama meminta persetujuan dari orang tua kedua belah
pihak.
Berasan :
Musyawarah
Rasan semendau nidau belapik emas : Pihak lelaki
mengikuti cara adat wanita
Jemo :
Orang
Asoku nido :
Menurutku tidak
Agam
: Suka
Ngapo :
Ada apa
Pelah :
Ayo
Nyelah :
Betul
Ngapo pulo :
Ada Pula
Sekiro :
Seandainya
Surat ulu :
Tulisan/alat komunikasi suku Serawai
Amun luk :
Kalau seperti itu
Dalaklah :
Carilah
Bae :
Saja
Batan :
Bakal
Lum pacak :
Belum bisa
0 comment
Terima kasih sudah mampir dan komen di blog saya. Mohon tidak komentar SARA, Link Hidup. Semoga makin kece, sehat dan banyak rejeki ya. Aamiin